Video of the Day

POTRET SEPAKBOLA DAN MASAYARAKAT INDONESIA

Senin, 24 September 2018 0 komentar

Tentang Haringga dan Keganasan Suporter di Indonesia
Tewasnya Haringga Sarila di tangan bobotoh merupakan korban tewas ke-63 di sepakbola Indonesia. Insiden ini bukan hanya soal rivalitas bobotoh dan The Jak. Rivalitas suporter di Indonesia secara umum memang sudah kelewat batas. Setiap tahun, kita seolah hanya menantikan kabar duka atas tewasnya suporter di sebuah pertandingan sepakbola.
Di sini saya tidak ragu mengatakan bobotoh, bukan oknum, karena mereka benar-benar bobotoh. Tapi, tidak semua bobotoh sebarbar itu. Mereka yang membunuh itu datang ke stadion tampaknya dengan tujuan eksistensi semata, bukan untuk mendukung Persib. Mayoritas dari mereka tak memiliki tiket, remaja tanggung, lusuh, beberapa tidak memakai alas kaki, beberapa berbau alkohol. Menonton pertandingan hanyalah bonus bagi mereka.
Perilaku suporter seperti itu tidak hanya ada di Bandung. Di Jakarta ada "Rojali" alias Rombongan Jak Liar. Dari beberapa kesaksian, di Persebaya, Arema, Persik, dan Persita pun ada suporter seperti ini. Bukan tak mungkin suporter-suporter kesebelasan lain pun terdapat suporter liar yang datang ke stadion tanpa modal dan justru kerap membuat onar.
Kekerasan suporter memang lahir dari kultur masyarakat Indonesia sendiri. Dalam kasus lain, kita sering membaca atau mendengar berita seorang maling tewas dipukuli massa, mobil penyerempet pengendara motor yang dirusak massa, tawuran antar pemuda, bahkan wihara dirusak massa karena kesalahpahaman, bukan?
Dalam penyerangan tersebut, tak sedikit dari mereka yang sebenarnya tidak tahu pasti duduk perkaranya seperti apa, namun karena teriakan mayoritas lainnya yang mereka anggap benar, mereka bisa langsung bertindak sebuas-buasnya manusia. Mereka seolah punya pembenaran untuk menghakimi seseorang.
Dalam pengeroyokan korban-korban kekerasan suporter, ia dipukuli bahkan hingga tewas hanya karena ia seorang pendukung kesebelasan rival. Padahal, kita tidak tahu kehidupan sehari-hari korban tersebut. Sekarang bayangkan misalnya seseorang yang di kehidupan sehari-harinya tak punya satu pun musuh, namun harus meregang nyawa karena mendukung kesebelasan yang berbeda.

Situasi seperti ini bukan kesalahan satu pihak tertentu. Tragedi seperti ini adalah wajah buruk sepakbola Indonesia. Sisi gelap sebagian manusia Indonesia. Lebih jauh, kejahatan seperti ini adalah cerminan buruk masyarakat Indonesia yang memang tidak bisa mencerna sesuatu hal dengan akal sehat.
Rivalitas Harusnya Seperti Apa?
Tentu tidak ada aturan tertulis seorang suporter harus dan tidak harus melakukan sesuatu hal untuk mendukung kesebelasan pujaannya. Yang ada adalah batasan-batasan tertentu seorang suporter ketika mendukung. Kontak fisik tidak dibenarkan: aturan tersebut terikat lewat hukum pidana.
Rivalitas di luar negeri lebih aman dibanding di Indonesia. Korban meninggal di luar negeri bukannya tidak ada, toh pendukung Lazio pernah tewas terkena tembakan suar (flare) dari pendukung Roma pada 1979. Tapi untuk rivalitas di era modern seperti ini, tindakan-tindakan kriminal suporter bisa terminimalisasi karena tingkat keamanan lebih baik.
Yang paling penting, kultur masyarakat di luar jauh lebih menghargai sebuah nyawa. Karenanya tak heran laga-laga panas macam AS Roma vs Lazio, Real Madrid vs Barcelona, River Plate vs Boca Junior, Celtic vs Rangers, Manchester United vs Liverpool, dan masih banyak lagi laga panas lainnya, sangat jarang menelan korban jiwa saat, sebelum, dan setelah pertandingan berlangsung.
Para suporter luar negeri, yang paling barbar sekalipun, mereka lebih mengutamakan untuk meneror pemain lawan. Pemain lawan diteror agar tampil buruk sehingga tim yang didukung meraih kemenangan. Mereka tahu, tidak ada untung dan gunanya meneror apalagi bertikai dengan suporter lawan bagi kesebelasan yang didukung.
Para suporter luar negeri pun tidak mudah terprovokasi. Karenanya meski bertemu dengan suporter rival, sangat jarang mereka bertikai. Saling mengolok dan menyerang lewat verbal, iya. Tapi hanya sebatas itu. Pada dasarnya rivalitas suporter luar memang bukan karena hal sepele, sehingga tidak pernah terprovokasi untuk menyerang secara agresif karena hal kecil.
Berbanding terbalik dengan di Indonesia. Jika El Clasico adalah duel nasionalisme antara Spanyol vs Katalunya, atau Old Firm Derby sebagai permusuhan antara Kristen dan Protestan, atau Superclasico yang lahir karena "pertarungan" antara kelas bawah vs kelas atas, di Indonesia, rivalitas suporter terjadi karena hal sepele.
Rivalitas The Jak vs Bobotoh misalnya, seperti yang diceritakan pengamat sepakbola Bandung, Eko Noer, pada Pikiran Rakyat, rivalitas ini dimulai karena kesalahpahaman yang terjadi pada akhir 90-an. Ketika itu, bobotoh dan The Jak sama-sama kecewa karena tidak bisa menyaksikan laga Persib vs Persija di Stadion Siliwangi, Bandung. Keduanya bentrok karena bobotoh kecewa ada The Jak yang bisa masuk stadion, sementara The Jak kecewa sudah datang jauh-jauh tapi tidak bisa masuk stadion. Insiden ini berlanjut dan semakin membesar karena adanya saling balas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, apalagi setelah memakan korban jiwa.
Randy Aprialdi yang mengamati kultur suporter luar negeri menyebut bahwa rivalitas di Indonesia terlampau barbar. Tidak ada pengeroyokan seorang suporter luar negeri yang tewas oleh suporter lawannya. Hanya sebatas sampai terjatuh dan tak berdaya. Di Indonesia, suporter yang kehilangan nyawa biasanya dipukuli oleh banyak orang (bukan 1 lawan 1) bahkan tidak dengan tangan kosong—tindakan pecundang.
Di sinilah letak perbedaan rivalitas suporter di Indonesia dan di luar negeri. Di Indonesia oleh hal-hal sepele seperti saling ejek, salah paham, atau sekadar tidak menerima kekalahan. Di luar negeri, rivalitas lahir karena perbedaan ideologi, dampak budaya, lingkungan sosial, hingga dampak peperangan di masa lalu.

Sudah Seperti Ini, Sekarang Bagaimana?
Federasi sepakbola dan pemerintah sudah terbukti tidak bisa mengatasi masalah kekerasan suporter ini. Saat ada korban suporter melayang, kita akan kembali mengingat masalah di masa lalu yang belum terusut tuntas. Contohnya, ketika Haringga sudah tak bernyawa saat ini, kasus Banu Rusman (suporter Persita) yang menjadi korban meninggal bentrokan dengan "suporter" PSMS pada 2017 lalu masih mengambang tak jelas.
Pelaku yang menghilangkan nyawa diadili saja tidak cukup. Hukuman PSSI terhadap suporter tidak pernah memberikan efek jera. Pemerintah kerap malu-malu (atau takut pembekuan lagi?) untuk mengambil alih masalah kriminal ini. Perilaku suporter barbar, akhirnya, tidak bisa terbenahi.
Suporter tidak bisa melulu menjadi objek. Toh, tidak semua suporter barbar. Masih banyak juga suporter yang cinta damai. Bahkan tak sedikit juga aroma perdamaian yang mulai digaungkan atas insiden ini. Banyak bobotoh yang juga merasakan duka mendalam sehingga tak bisa merayakan kemenangan atas Persija dengan suka cita yang luar biasa.
Rivalitas suporter memang tidak bisa dihilangkan atau didamaikan begitu saja. Yang paling penting, para suporter kesebelasan Indonesia perlu mengingat bahwa stadion rusak bisa diperbaiki, tapi nyawa yang hilang tak bisa kembali. Sudikah kalian terus melihat nyawa melayang karena rivalitas semata?
Jika pun nantinya bobotoh bahkan Persib mendapatkan hukuman yang ekstrem karena insiden ini, hal itu baiknya diterima dengan legawa. Tidak perlu mengungkit ketidakbecusan PSSI di masa lalu yang tidak memberikan hukuman berat di masa lalu. Tidak perlu "Kok, dulu si anu gak dihukum seberat ini?" karena jika seperti itu terus, kita tak akan pernah bisa menghentikan hal seperti ini. Yang akan ada hanya aksi balas.
Sekarang, keadilan di antara suporter dan kesebelasan perlu dikesampingkan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia-lah yang patut diutamakan.
SUMBER : PANDITFOOTBALL.COM
"LEBIH BAIK BUBARKAN SAJA JIKA TIDAK ADA PERUBAHAN"

UEFA NATIONS LEAGUE

Sabtu, 01 September 2018 0 komentar


Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Liga Negara UEFA

Tatanan kompetisi antarnegara Eropa bakal sedikit dimodifikasi dengan digelarnya UEFA Nations League.

Tidak lama lagi, lanskap sepakbola internasional di Benua Biru bakal memiliki wajah baru.
UEFA selaku otoritas tertinggi sepakbola Eropa telah meluncurkan kompetisi baru antarnegara Eropa yang memiliki nama resmi UEFA Nations League. Bisa disebut Liga Negara UEFA atau cukup Liga Negara agar lebih ringkas.
Tujuan dari digelarnya kompetisi baru ini adalah sebagai pengganti uji coba internasional, sehingga setiap negara bisa melakoni laga-laga kompetitif sebagai persiapan ideal jelang Piala Eropa atau Piala Dunia.
Untuk edisi perdana, yakni Liga Negara 2018/19, bakal digelar pada September 2018 hingga Juni 2019. Garis besarnya, terdapat empat divisi dalam liga ini dan turut diterapkan sistem promosi-degradasi. Selain itu, Liga Negara juga sedikit bersinggungan dengan kualifikasi Euro.
Terdengar membingungkan? Goal Indonesia mencoba menjelaskan segala hal berkaitan kompetisi antarnegara Eropa berformat baru ini. Simak!

Description: UEFA Nations League


APAKAH ITU LIGA NEGARA UEFA?

Sebagaimana nama yang melekat, Liga Negara UEFA adalah sebuah kompetisi liga untuk 55 negara anggota UEFA. Liga ini akan terdiri dari empat divisi yang ditentukan berdasarkan peringkat koefisien UEFA. Pada Rabu (11/10), UEFA telah mengumumkan para peserta dari keempat divisi ini.
Raksasa Eropa seperti Jerman, Spanyol, Prancis, Italia, Portugal, Belgia dan Inggris berada di Liga A yang total terdiri dari 12 negara dengan peringkat koefisien UEFA tertinggi. Islandia dan Belanda masuk dalam divisi ini.
Di bawahnya terdapat Liga B yang juga terdiri dari 12 negara dan berisikan tim-tim kelas dua Eropa semacam Wales, Rusia, Swedia, dan Republik Irlandia. Sementara Liga C berisikan 15 negara seperti Skotlandia, Yunani, Serbia, dan Hongaria.
Terakhir terdapat divisi terbawah, Liga D, yang berkomposisi 16 negara. Tim-tim semenjana semacam Kepulauan Faroe, Andorra, San Marino, hingga dua anggota terbaru UEFA, Gibraltar dan Kosovo tergabung dalam Liga D.
Description: https://images.performgroup.com/di/library/GOAL/f0/84/embed-only-nations-league-2018_u32igh1ool421bqtxj7p4u91d.jpg?t=181823455
Dari Liga A sampai Liga D tersebut, tiap liga kemudian dibagi ke dalam grup-grup. Di Liga A dan Liga B terdapat empat grup yang berisikan tiga tim di tiap grup. Liga C juga terdiri dari empat grup, namun berisikan tiga sampai empat tim di tiap grup. Adapun Liga D memiliki empat grup dengan empat tim di tiap grup.
Fase grup ini akan dimainkan dengan format kandang-tandang di jeda internasional pada September, Oktober, dan November 2018. Setelah fase grup berlalu, khusus di Liga A akan digelar fase gugur “Final Four” yang diambil dari empat juara grup.
Artinya, bakal ada partai semi-final, final, dan perebutan tempat ketiga pada Juni 2019 yang dimainkan dalam format satu leg di tempat netral. Kampiun Liga Negara 2018/19 tentu saja adalah pemenang di partai puncak.
Untuk negara-negara lain yang tidak terlibat dalam “Final Four” di atas, nasib mereka ditentukan oleh sistem promosi dan degradasi. Tim-tim yang berada di urutan buncit dalam grup di Liga A, B, dan C bakal turun kasta ke liga di bawahnya. Adapun juara grup di Liga B, Liga C, dan Liga D bakal promosi ke liga di atasnya.
Description: http://images.performgroup.com/di/library/GOAL/d7/36/uefa-nations-league_dpn76pdtlyl719habjwfs43hb.jpg


BAGAIMANA KAITANNYA DENGAN KUALIFIKASI EURO 2020?

Liga Negara UEFA kemudian memasuki kerumitan tertentu karena bersinggungan dengan kualifikasi Piala Eropa.
Pada dasarnya, kualifikasi Euro 2020 tetap dimainkan pada Maret 2019 hingga Maret 2020 untuk menyeleksi tim yang layak tampil di putaran final. Hanya saja, tim-tim yang tidak lolos ke putaran final lewat jalur kualifikasi bisa mendapatkan “kesempatan kedua” untuk mentas di Euro 2020 jika bermain baik Liga Negara 2018/19.
Kualifikasi Euro bakal mengirimkan 20 tim -- dua tim dari sepuluh grup -- ke putaran final sehingga masih tersisa empat slot yang biasanya akan ditentukan lewat play-off. Nah, para peserta play-off ini adalah mereka yang lolos lewat jalur Liga Negara.
Description: https://images.performgroup.com/di/library/GOAL/f7/f6/uefa-nations-league_1wsh5qnm1qrsu19wt28r9su4sh.jpg
Pemenang di tiap grup di Liga A, B, C, D bakal saling beradu dengan sistem mirip “Final Four” seperti di Liga A yang telah dijabarkan di awal. Untuk lebih memudahkan, fase ini bisa disebut sebagai Play-off Final Four. Pemenang Play-off Final Four dari Liga A, B, C, D inilah yang secara otomatis berhak memegang tiket ke Euro 2020.
Yang menjadi rumit adalah jika pemenang dari tiap grup di Liga A, B, C, D tersebut juga sudah lolos ke Euro 2020 lewat jalur kualifikasi secara normal. Tempat mereka di babak Play-off Final Four kemudian akan diganti oleh tim terbaik berikutnya dari keseluruhan Liga Negara yang belum lolos ke Euro 2020.
Jika dalam Play-off Final Four di tiap liga tidak komplet empat tim, maka sisa tim bisa diambil dari liga di bawahnya. Misalnya, Play-off Final Four di Liga A hanya terdiri dari tiga tim, maka tim keempat diambil dari tim peringkat kelima terbaik yang belum lolos dari Liga B. Begitu seterusnya sampai Play-off Final Four di tiap divisi liga terdiri dari empat tim yang belum lolos ke Euro 2020 dari jalur kualifikasi.
Putaran final Euro 2020 sendiri juga akan berformat baru karena akan dimainkan dimainkan di 13 kota dari 13 negara yang berbeda di seluruh penjuru Eropa.

Dan berikut hasil Drawing Nations League 2018

Hasil Undian Nations League UEFA


Liga A

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Belanda
Islandia
Polandia
Kroasia
Prancis
Swiss
Italia
Inggris
Jerman
Belgia
Portugal
Spanyol

Liga B

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Republik Ceko
Estonia
Irlandia Utara
Denmark
Ukraina
Swedia
Bosnia & Herzegovina
Republik Irlandia
Slowakia
Rusia
Austria
Wales

Liga C

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Israel
Estonia
Siprus
Lithuania
Albania
Finlandia
Bulgaria
Montenegro
Skotlandia
Yunani
Norwegia
Serbia
-
Hungaria
Slovenia
Rumania

Liga D

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Andorra
San Marino
Kosovo
Gibraltar
Kazakhstan
Moldova
Malta
Liechtenstein
Latvia
Luxembourg
Kepulauan Faroe
Armenia
Georgia
Belarus
Azerbaijan
Makedonia

SUMBER : GOAL.COM

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads

Join our Team

Popular Posts