Video of the Day

PAOLO MALDINI

Selasa, 23 Januari 2018

Di Serie A dan di Liga Champions, ia adalah 'dewanya'. Tujuh scudetto dan lima Liga Champions sukses ia raih di sepanjang kariernya. Tapi di timnas Italia, ceritanya berbeda. Dan itulah noda terbesar dalam kariernya...
Saat seorang pemain hebat yang hanya memperkuat satu klub sepanjang 25 tahun kariernya memilih untuk pensiun, sepakbola yang semakin materialistis pun pasti akan menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Apalagi jika pemain yang dimaksud adalah Paolo Maldini.
Paolo Maldini adalah seniman lapangan hijau yang selama lebih dari dua dekade sudah melewati beberapa generasi saat memilih gantung sepatu pada 2009 silam. Dia sudah memberikan segalanya untuk membantu AC Milan meraih sebanyak mungkin gelar yang bisa mereka raih selama berseragam merah hitam. Lima trofi Liga Champions, tujuh gelar Serie A, lima Piala Super Eropa dan satu Coppa Italia adalah bukti kontribusinya di era kejayaan Milan. Maka tak mengherankan jika mantan manajer sekelas Sir Alex Ferguson pun menyebut pria kelahiran 26 Juni 1968 itu sebagai pemain favoritnya dari tim lawan yang pernah dihadapinya saat membesut Manchester United. Maldini dengan segala sejarah yang ditorehkannya layak meninggalkan lapangan hijau dengan kepala tegak meski kariernya tak sesempurna Xavi Hernandez atau Andres Iniesta.  
Debut Maldini bersama Rosonerri terjadi pada 20 Januari 1985 saat ia masuk menggantikan Sergio Battistini dalam sebuah laga kontra Udinese di usia yang baru menginjak 16 tahun. Meski itu menjadi satu-satunya kesempatan Maldini merumput bersama Milan di musim tersebut, bakatnya menjadi salah satu penoreh sejarah panjang kejayaan di San Siro di tahun-tahun berikutnya. Tiga tahun berselang, berada di bawah kepelatihan Arrigo Sacchi, Maldini sukses mempersembahkan trofi pertamanya untuk Milan, klub yang juga pernah dikapteni sang ayah, Cesare Maldini. Gelar Serie A di musim itu mengawali rentetan trofi yang datang ke Milan dengan Maldini sebagai salah satu penggawa penting mereka.

Maldini muda mendapatkan dukungan dari banyak pemain top di timnya
Kesuksesan Maldini sebagai pemain tentu bukan hasil upayanya semata. Kedatangan Silvio Berlusconi sebagai pemilik baru AC Milan pada 1986 serta keputusannya untuk merekrut Arrigo Sachhi dari Parma pada 1987 menjadikan Milan sebagai klub yang sangat disegani di dunia. Di era mantan penjual sepatu itu, yang mengakhiri kepemilikannya pada bulan ini, Milan juga bisa menikmati jasa trio Belanda legendaris (Marco van Basten, Frank Rijkaard, dan Ruud Gullit) dan dengan lini belakang yang dikawal oleh Alessandro Costacurta, Mauro Tassotti, Franco Baresi, dan Maldini sendiri. Singkat kata, Maldini mengawali kisahnya di Milan di saat yang tepat.

Maldini berkembang di saat yang tepat di Milan
Akhir 80an dan awal 90an adalah era di mana Milan seolah menjadi penguasa tunggal lapangan hijau. Mereka tiga kali meraih trofi Piala Champions (1989, 1990, dan 1994) dan Maldini memiliki kontribusi besar dalam kesuksesan tersebut sebagai pemain utama di usia yang muda. Hebatnya lagi, itu bukan trofi Eropa terakhir yang ia persembahkan. Dalam periode satu dekade berikutnya, ia kembali mengangkat trofi itu sebanyak dua kali (2003 dan 2007), dengan status sebagai kapten tim yang sudah disandangnya sejak 1996.
PIALA DUNIA, KUTUKAN ADU PENALTI DAN GOL EMAS
Gelimang trofi Maldini bersama Milan gagal diteruskannya bersama tim nasional Italia. Piala Eropa 1988 menjadi turnamen internasional pertamanya, di mana Italia hanya sukses menginjakkan kaki hingga semifinal. Dua tahun kemudian, Italia mencatatkan rekor sebagai tim yang tidak kebobolan dalam lima pertandingan beruntun di Piala Dunia 1990, sebelum Diego Maradona mencetak gol penyeimbang di babak semifinal untuk Argentina sekaligus mengandaskan langkah Negeri Pizza itu lewat babak adu penalti.
image: https://images.cdn.fourfourtwo.com/sites/fourfourtwo.com/files/styles/inline-image/public/paolo-maldini_zbnbiqlozziq17qrg4buuckei.jpg?itok=5OX-wjpe

Paolo Maldini bermain menonjol di Piala Dunia 1990
Adu penalti seolah menjadi kutukan bagi Maldini dan kiprahnya di Piala Dunia. Dalam dua gelaran berikutnya, Italia selalu tersingkir lewat sistem yang mengadu kerja keras dengan keberuntungan tersebut. Di edisi 1994, Italia dikalahkan oleh Brasil di babak final, sementara pada 1998 Azurri dikandaskan tuan rumah Prancis, yang akhirnya menjadi juara, di babak perempat final. Untuk gelaran 1994 di Amerika Serikat, Maldini sudah sempat menyandang ban kapten karena cedera yang dialami Franco Baresi.
Adu penalti seolah menjadi kutukan bagi Maldini dan kiprahnya di Piala Dunia. Dalam dua gelaran berikutnya, Italia selalu tersingkir lewat sistem yang mengadu kerja keras dengan keberuntungan tersebut
Sementara itu, ajang Piala Dunia terakhirnya pada 2002 juga berakhir dengan tak kalah menyakitkan. Azzurri disingkirkan tuan rumah Korea Selatan di babak 16 besar lewat aturan Golden Goal, di mana sebuah tim yang berhasil lebih dulu mencetak gol di babak tambahan bisa langsung keluar sebagai pemenang.
Kekecewaan yang dirasakannya dalam empat gelaran Piala Dunia rupanya cukup untuk membuat Paolo Maldini menjauh dari ingar bingar turnamen sepakbola terbesar itu saat negaranya memenangi edisi 2006 yang digelar di Jerman dan dia sudah tak lagi menjadi bagian dari skuat.
"Saya berada di Amerika Serikat saat Piala Dunia 2006 digelar, jauh sekali, jadi sampai mereka (Italia) masuk ke babak semifinal, saya nyaris tidak mengetahui apapun. Saya menyaksikan laga final dan berbahagia untuk mereka, tapi saya kecewa dengan diri saya sendiri. Tapi, saya juga sudah memiliki terlalu banyak hal jadi saya tak seharusnya mengeluh," aku Maldini saat diwawancara tahun 2009.
image: https://images.cdn.fourfourtwo.com/sites/fourfourtwo.com/files/styles/inline-image/public/paolo-maldini_y1llgg6upau713j7csumay8ba.jpg?itok=SNr0nmJp

Meski sempat masuk dalam tim terbaik Piala Dunia, ia tak pernah berhasil memenangi trofi tersebut bersama Italia
Saya berada di Amerika Serikat saat Piala Dunia 2006 digelar, jadi sampai mereka (Italia) masuk ke babak semifinal, saya nyaris tidak mengetahui apapun. Saya menyaksikan laga final dan berbahagia untuk mereka, tapi saya kecewa dengan diri saya sendiri
- Paolo Maldini
Maldini memang gagal membawa negaranya menjuarai satu pun turnamen internasional, namun kepiawaiannya di posisi bek kiri membuatnya terpilih dalam daftar Tim Terbaik Turnamen di Piala Dunia edisi 1990 dan 1994. Namun, di antara deretan penghargaan di level individu dan klub tersebut, Maldini bukannya tak memiliki jasa apapun untuk tim nasionalnya. Permainan elegannya di barisan pertahanan adalah warisan yang akan selalu menginspirasi banyak bek Italia saat ini. Kariernya yang panjang membuat filosofinya sebagai bek mampu menyeberangi beberapa generasi, sementara kemampuannya beradaptasi dengan perubahan menjadikannya sebagai sosok yang tepat untuk dijadikan teladan sepanjang zaman.


MALDINI DAN SENI BERTAHAN
Sepakbola modern semakin menyesakkan bagi para pelaku lapangan hijau. Seorang pemain kini kian dituntut untuk memiliki banyak aspek teknis dalam permainan mereka ketimbang bagaimana memainkan peran sesuai posisi mereka di atas lapangan. Paolo Maldini dalam hal ini, jelas memiliki kemampuan beragam dalam permainannya, dari aspek bertahan hingga menyerang. Tapi, jelas kekuatan yang paling sering dipamerkannya adalah bagaimana menghadang pergerakan lawan di area permainannya. Sementara kemampuan menyerangnya dari sisi kiri menginspirasi banyak pemain di generasi berikutnya, kemampuan bertahan Maldini di posisi bek kiri adalah sesuatu yang langka untuk ditemukan saat ini.
Maldini adalah simbol pertahanan indah dalam sepakbola. Ia bukan tipe bek yang kerap melakukan tekel untuk menghentikan lawan. Dia memiliki kemampuan untuk melakukannya, tapi waktu eksekusinya nyaris selalu sempurna, meninggalkan lawan dalam kondisi kebingungan ketimbang kesakitan. Pada dasarnya dia memiliki semua kemampuan dasar yang dibutuhkan bek: kuat, cepat, tenang, cerdas dan kemampuan membaca arah serangan lawan. Saat berada dalam situasi satu lawan satu, Maldini seolah berada satu langkah di depan lawannya. Ia akan dengan tenang mengikuti pergerakan lawan dan menebak ke mana mereka akan menendang sebelum bola berhasil kembali ia kuasai. Maldini adalah sosok yang mengantisipasi datangnya masalah, dan jika gagal mengantisipasinya, ia akan dengan anggun mengatasinya.

Kekuatan utama Maldini: membaca pergerakan lawan untuk kemudian menghentikannya
Pujian dan pengakuan untuk bakat Maldini tak akan terputus oleh zaman. Di era di mana kita bisa mengakses informasi dengan begitu mudah, rekaman pertandingan Milan di masa keemasan Maldini akan bisa ditemukan dalam hitungan menit bahkan detik di dunia maya. Tapi, pujian dari sesama pelaku sepakbola jelas memiliki makna lebih.

Tekel adalah usaha terakhir, bukan jalan pertama untuk menghentikan lawan
"Saya menyaksikan Milan di perempat final, leg kedua melawan Bayern Munich dan Maldini bermain 90 menit tanpa melakukan tekel. Itu adalah seni dan ia adalah penguasanya. Dia pemain hebat. Anda tidak dapat mengabaikan pengalaman yang ia miliki," ujar Sir Alex Ferguson saat timnya akan menghadapi AC Milan di semifinal Liga Champions 2007, yang kemudian dimenangi Milan untuk kemudian membalaskan dendam mereka pada Liverpool di final.
Saya menyaksikan Milan di perempat final, leg kedua melawan Bayern Munich dan Maldini bermain 90 menit tanpa melakukan tekel. Itu adalah seni dan ia adalah penguasanya
- Sir Alex Ferguson
Sementara itu Gianni Rivera, mantan playmaker tim nasional Italia, menyebut Maldini sebagai sosok yang mewakili era lawas dan modern karena begitu konsisten selama 25 tahun berkarier.
Atau coba baca pujian dari mantan striker tim nasional Inggris, Teddy Sheringham, yang diutarakannya kepada FourFourTwo.

"Saya beberapa kali berhadapan dengan Maldini. Dia bagus saat menyerang, tapi yang lebih penting dia adalah bek yang hebat. Saya tak pernah melihatnya dibuat pontang-panting oleh pemain sayap lawan."
PERSETERUAN DENGAN ULTRAS MILAN
Maldini bukan hanya seorang pemain sepakbola terhormat, dia adalah pria dengan nilai kemanusiaan luhur yang pemberani. Ia tak akan segan menyuarakan ketidaksetujuannya saat sesuatu yang tidak benar terjadi dan sekali pun itu harus membuatnya berhadapan dengan kelompok suporter Milan sendiri.
Daftar perseteruan Maldini dengan suporter Milan mungkin baru menarik perhatian di tahun 2005 saat dia dengan terbuka mengritik barisan ultras yang dengan sengaja menjual tiket final Liga Champions dengan harga lebih tinggi ke suporter Milan lainnya. Tapi, Maldini sejatinya sudah cukup lama bergesekan dengan mereka.
Misalnya, dalam sebuah laga antara Milan dan Parma pada musim 1997/98, Milanisti yang kecewa dengan performa tim kesayangannya berbuat ulah dengan melempar beberapa benda ke lapangan dan membuat laga ditunda lebih dari lima menit. Maldini tidak menahan diri melihat ulah suporter timnya dan memilih mengritik secara terbuka. Tapi, itu bukan aksi protes terbesarnya. Saat Milan memenangi Serie A semusim kemudian, Maldini menolak untuk berterima kasih kepada suporter setelah laga penentuan dan memilih langsung masuk ke ruang ganti untuk merayakan gelar dengan Costacurta!
Pertengahan 90an memang bukan era yang membahagiakan bagi Milan dan Maldini. Para pemain utama mereka sudah menua dan mengharuskan Milan melakukan regenerasi yang membuat prestasi tim menurun dan suporter merasa terluka. Maldini menjadi salah satu sosok yang kerap dikritik suporter di masa-masa sulit itu dan nyaris mempertimbangkan tawaran Gianluca Vialli untuk memperkuat Chelsea pada 1997.
Tentu saja ia tak pernah meninggalkan Milan yang diakui sebagai satu-satunya klub di dalam hatinya, tapi loyalitas dan kontribusi Maldini tak selalu dibalas dengan manis oleh ultras.

Legenda yang tak dihormati ultras sendiri
Perseteruan di Istanbul pada 2005 mungkin yang akhirnya paling memengaruhi sikap ultras kepada Maldini. Bahkan pada pertandingan terakhirnya di San Siro pada Mei 2009, beberapa dari mereka memasang beberapa spanduk dengan tulisan yang terlihat sangat tidak layak ditujukan untuk seorang pemain seperti Maldini.
"Terima kasih kapten. Di lapangan kau adalah juara, tapi kau tak memiliki rasa hormat kepada mereka yang sudah membuatmu kaya raya," bunyi salah satu spanduk di San Siro hari itu.
Spanduk lain yang tak kalah pedih untuk dipandang adalah spanduk raksasa dengan bentuk seragam tim Milan bernomor punggung enam bertuliskan, "Hanya ada satu kapten, (Franco) Baresi."

Terima kasih kapten. Di lapangan kau adalah juara, tapi kau tak memiliki rasa hormat kepada mereka yang sudah membuatmu kaya raya
- Salah satu spanduk ultras Milan di laga perpisahan Maldini
Maldini yang sudah lama mengetahui tabiat para ultras tidak terlalu menghiraukan sambutan yang menghina dirinya di hari terakhirnya di San Siro. Dia mengaku bersyukur tidak menjadi orang-orang seperti barisan suporter itu.
Hubungan buruk dengan kelompok ultras inilah yang ditengarai membuat Maldini nyaris tak punya peluang untuk masuk dalam jajaran dewan klub. Baik Silvio Berlusconi dan Andrea Galliani tak mampu berbuat apapun untuk memboyong Maldini kembali bekerja di Milan. Sementara melatih diakui oleh Maldini tak menjadi pilihan dalam hidupnya, dia kini lebih tertarik menjalankan bisnis jual pakaian dan restoran. Ia juga menjadi pemilik bersama klub sepakbola berbasis di Amerika Serikat, Miami FC.
"Saya tak akan melatih. Itu pekerjaan yang luar biasa, tapi banyak tekanan dan melibatkan beberapa hal yang sangat tidak saya sukai dalam sepakbola. Setelah pertandingan, saya melihat (Carlo) Ancelotti melakukan tujuh wawancara yang berbeda, menjawab pertanyaan yang sama tujuh kali," ungkap Maldini soal alasannya enggan terjun ke dunia pelatih.
Dengan segala kontribusi dan warisannya untuk sepakbola, Paolo Cesare Maldini tak berhutang apapun pada Milan dan sepakbola. Sebaliknya, pendidikan yang diajarkan dalam permainannya akan selalu menjadi acuan penting bagi mereka-mereka yang ingin sukses di dunia sepakbola.
Sumber : FOURFOURTWO.COM

Page

Pages

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads

Ads

Join our Team

Popular Posts