Video of the Day

OLIVER KAHN

Selasa, 23 Januari 2018


Tubuhnya tinggi dan besar, tapi ia begitu cekatan dalam melompat untuk menggagalkan peluang lawan. Ia tak pernah berhenti berteriak, dan kharismanya membuat lawan segan. Oliver Kahn adalah penjaga martabat Jerman di periode kemunduran sepakbola mereka.
Dalam gelaran Piala Dunia 1954, Gustav Sebes, pelatih Hongaria, memamerkan topi ajaibnya kepada seluruh penikmat sepakbola. Dari topi ajaib itu keluar manusia-manusia hebat seperti Ferenc Puskas, Nandor Hidegkuti, dan Sandor Kocsis. Sebes dan manusia-manusia hebat itu kemudian memperlihatkan cara bermain sepakbola yang memikat, menggoda, sekaligus mengundang decak kagum. Namun saat suara-suara penuh keyakinan yang mengatakan bahwa Hungaria akan menjadi juara Piala Dunia yang digelar di Swiss tersebut muncul ke atas permukaan, Jerman, yang sempat dihajar 3-8 oleh sihir Puskas dan kompatriotnya di babak penyisihan, justru berhasil keluar sebagai pemenang. Sempat tertinggal dua gol terlebih dahulu, secara heroik Jerman berhasil mengalahkan Hungaria 3-2 di partai final.  Miracle of Bern, cerita tentang kemangan Jerman tersebut, kemudian ditakdirkan untuk mengalahkan cerita tentang kejeniusan Sebes dan manusia-manusia hebat yang keluar dari dalam topi ajaibnya.
Dua dekade kemudian, tepatnya dalam gelaran Piala Dunia 1974, Jerman sekali lagi membuat orang-orang geleng-geleng kepala. Saat itu mereka berhasil mengalahkan Belanda, yang dengan gaya total football-nya sering mempermainkan musuh-musuhnya, dengan skor 2-1 di pertandingan final. Timnas Belanda 1974 tidak hanya pandai memainkan bola; mereka juga pandai memainkan ruang yang tak kasat mata. Seperti para filsuf, isi kepala Johan Cruyff dkk. juga susah dimengerti oleh lawan-lawannya. Dengan pendekatan seperti itu, timnas Belanda 1974 berhasil tampil mendekati kesempurnaan, sampai pada akhirnya Jerman berhasil membuktikan dogma dalam sepakbola bahwa bola itu bulat – apa pun bisa terjadi di dalam sepakbola.
Pasca gelaran Piala Dunia 1974 tersebut keajaiban-keajiban masih sering mengiringi perjalanan Jerman di dalam turnamen-turnamen besar. Ketika Paul Gascoigne, bintang Inggris yang digadang-gadang akan memporak-porandakan lini tengah Jerman di babak semifinal Piala Dunia 1990, menangis tersedu-sedu, sementara Jerman melaju dan untuk ketiga kalinya berhasil mengangkat tinggi-tinggi tropi Piala Dunia ke udara. Dan enam tahun setelah kejadian tersebut, tepatnya dalam gelaran Piala Eropa 1996 di Inggris, Jerman yang dihuni oleh pemain-pemain veteran juga berhasil keluar sebagai juara setelah mengalahkan Republik Cheska yang lebih difavoritkan.
Catatan-catatan sejarah Jerman yang seperti itu kemudian membuat mereka dianggap sebagai sebuah tim yang mempunyai mental juara. Seburuk apa pun penampilan Jerman di sebuah turnamen, nyaris tidak ada yang berani mencoret nama mereka sebagai salah satu kandidat kuat juara. Menyoal mentalitas juara yang dimiliki Jerman, Gary Lineker, legenda sepabola Inggris, bahkan pernah mengatakan, "Sepakbola adalah permainan sederhana. Dua puluh dua orang mengejar bola selama sembilan puluh menit, dan pada akhirnya Jerman akan keluar sebagai pemenang."

Meski demikian, pada kenyataannya, Jerman tak selalu seperti itu. Pasca menjadi yang terbaik dalam gelaran Piala Eropa 1996, Jerman seperti kehilangan kehebatannya. Orang-orang mulai lupa bahwa Jerman adalah tim spesialis turnamen ketika dihancurkan Kroasia, 0-3, pada babak perempat-final Piala Dunia 1998. Dua tahun setelahnya Jerman bahkan mengalami nasib yang lebih buruk. Dalam gelaran Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia, Jerman terpaksa pulang setelah babak penyisihan grup berakhir – kejadian yang kemudian menjadi awal revolusi besar dalam sepakbola Jerman.
"Dalam pergantian milenium sepakbola Jerman menghadapi bencana besar," tulis salah satu media Jerman.
Penampilan mengecewakan timnas Jerman kemudian membuat pemain-pemainnya diserang publik. Mereka dianggap tak pantas mengenakan seragam Jerman. Tradisi hebat Jerman di turnamen besar dirusak oleh ke-medioker-an mereka. Namun di antara banyaknya pemain yang mengenakan seragam Jerman pada masa suram tersebut, ada satu nama yang tetap dihormati dan dipuja publik sepakbola Jerman. Ia adalah Oliver Kahn. Julukannya Der Titan. Selain karena perawakan tubuhnya yang besar dan otot-otot tubuhnya yang menonjol layaknya Hulk, salah satu karakter ikonik Marvel, dia mendapatkan julukan seperti itu karena kehebatannya saat berdiri di depan mistar gawang.  

Tinggi, besar, dan galak. Tak salah jika Kahn dijuluki Der Titan atau sang raksasa.
Di saat pemain-pemain Jerman lainnya tampil lesu di atas lapangan, penampilan gila Kahn sering mendapatkan aplaus panjang. Bagaimana tidak gila, ketika bola yang melaju sekencang peluru menghantam wajahnya, perut, atau tangannya, dia akan mengatakan bahwa itu adalah hal cukup luar biasa untuk dirinya. Selain itu, menghantamkan tubuhnya ke kaki penyerang lawan adalah salah satu cara terbaik untuk untuk menjaga kesehatannya. Kemudian, dengan kegilaannya itu Kahn terus berusaha menjaga martabat timnas Jerman yang mempunyai sejarah besar. Meski tak pernah berhasil kembali membawa timnas Jerman ke puncak tertinggi, setidaknya, Kahn berhasil memberikan kepastian kepada publik sepakbola bahwa Jerman tetaplah salah satu kekuatan besar di peta sepakbola dunia.
Aksi brilian dan blunder yang jadi mimpi buruknya
Kahn memang menutup tahun 90-an dan membuka tahun 2000 dengan cara yang mengecawakan. Bersama Bayern Munich, Kahn gagal mengangkat trofi Liga Champions 1998/99 setelah kalah dari Manchester United pada menit-menit terakhir pertandingan final. Setahun setelahnya, dalam debutnya sebagai kiper utama timnas Jerman di turnamen besar, Kahn juga gagal menutupi penampilan buruk Jerman dalam gelaran Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia. Namun Kahn kemudian tak membutuhkan banyak waktu untuk menunjukkan kebesarannya. Dalam gelaran Liga Champions 2000/01, Kahn berhasil membawa Bayern Munich menjadi juara setelah mengalakan Valencia di pertandingan final. Dalam pertandingan yang harus melewati drama adu penalti tersebut, Kahn berhasil menggagalkan tiga tendangan algojo Valencia. Dirinya kemudian dinobatkan menjadi pemain terbaik dalam pertandingan di San Siro, Milan, yang menegangkan tersebut. Dan satu tahun setelahnya, tepatnya dalam gelaran Piala Dunia 2002, Kahn juga berhasil membuktikan bahwa dirinya merupakan salah satu kiper terbaik di seantero jagad pada waktu itu.

Penyelamatannya di final Liga Champions 2001 memberikan Bayern Munich gelar juara
Berangkat ke Korea dan Jepang, tempat digelarnya Piala Dunia 2002, dengan skuat yang tidak meyakinkan, Jerman bukanlah unggulan dalam turnamen tersebut. Status tersebut memang tak salah. Setelah menghempaskan Arab Saudi 8-0 pada pertandingan pembuka, Jerman tampak kesulitan saat harus meladeni perlawanan militan dari Irlandia dan Kamerun. Dalam pertandingan tersebut, lini pertahanan Jerman serapuh donat. Seperti sebuah dari karma Perang Dunia kedua, penyerang-penyerang Irlandia dan Kamerun secara leluasa mampu menghujani gawang Jerman dengan tembakan-tembakan mematikan. Dan pada saat itulah, Kahn berhasil membuat banyak orang bertanya-tanya di dalam hatinya: "Mungkin, dia juga bisa menghentikan rudal."  Sebuah pujian yang kemudian terus mengiringi perjalanan kiper terbaik Bundesliga 1994 tersebut di sepanjang Piala Dunia 2002.
Tembakan keras yang terarah, tandukan yang peluang golnya mencapai 99%, dan situasi satu lawan satu gagal mengoyak ketangguhan Kahn di depan gawang Jerman.
Tembakan keras yang terarah, tandukan yang peluang golnya mencapai 99%, dan situasi satu lawan satu gagal mengoyak ketangguhan Kahn di depan gawang Jerman. Dia selalu melompat, mengorbankan anggota tubuhnya, dan berteriak untuk menghindarkan maut yang terus mengancam gawang Jerman. Dalam pertandingan menghadapi Irlandia, usaha mati-matian yang dilakukan Robbie Keane memang berhasil mengalahkannya pada menit-menit akhir pertandingan. Tetapi itu adalah satu-satunya gol yang bersarang ke Kahn sebelum dirinya bertemu dengan Ronaldo, penyerang terbaik sejagad pada waktu itu, pada pertandingan final. Dalam empat pertandingan menuju final, Kahn sukses membuat Samue Eto'o, Landon Donovan, dan Ahn Jung-hwan kehilangan akal untuk mengalahkannya.
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya Kahn berhasil dikalahkan Ronaldo pada pertandingan final. Tidak hanya sekali, tetapi dua kali. Dan salah satunya terjadi karena blunder yang dibuatnya. Saat itu, Kahn gagal menangkap bola yang seharusnya bisa dengan mudah diatasinya. Ronaldo yang tak terkawal kemudian dengan mudah memanfaatkan kesalahan Kahn tersebut.

Ini adalah salah satu mimpi terburuk Oliver Kahn di sepanjang kariernya
"Itu adalah satu-satunya kesalahanku di pertandingan final. Tetapi itu sepuluh kali lebih buruk daripada kesalahan lainnya yang pernah aku buat. Tidak ada cara bagiku untuk membuatku merasa lebih baik atau untuk melupakan kesalahan itu," penyesalan Kahn tentang kesalahnnya itu.
Itu adalah satu-satunya kesalahanku di pertandingan final. Tetapi itu sepuluh kali lebih buruk daripada kesalahan lainnya yang pernah aku buat
- Oliver Kahn
Saat Brasil mampu mengangkat gelar dunianya yang kelima pada akhir pertandingan, Kahn memang boleh mengutuk dirinya sendiri. Ia duduk bersandar gawang dengan tatapan nanar di tengah-tengah pesta kemenangan Brasil. Namun, publik sepakbola, termasuk publik sepakbola Jerman, ternyata mempunyai pendapat berbeda dengan mantan kiper Bayern Munich tersebut. Bagaimanapun Kahn tampil hebat sepanjang turnamen. Gawangnya hanya kebobolan tiga kali, dan dua di antaranya terjadi di pertandingan final di mana jari tangannya mengalami cedera. Berapa kali pemain-pemain Brasil harus melakukan tembakan ke gawang untuk mampu mengalahkannya? Ronaldo bahkan sempat beberapa kali memperlihatkan ekspresi kesal karena ketangguhan Kahn di mistar gawang pada saat itu.
Dengan pendekatan seperti itu, Kahn pun akhirnya dinobatkan sebagai pemain terbaik Piala Dunia 2002 tersebut, mengalahkan Ronaldo yang merupakan mimpi buruknya.
Sang pahlawan yang tak perlu turun ke lapangan
Dalam gelaran Piala Dunia 2006 di Jerman, revolusi sepakbola Jerman yang dimotori Juergen Klinsmann, pelatih Jerman pada saat itu, dimulai. Sejumlah pemain muda yang diharapkan mampu membangkitkan kekuatan Jerman pada masa yang akan datang mulai mendapatkan tempat. Pemain-pemain yang sudah menua meski masih memiliki nama besar secara perlahan mulai disingkan. Kahn, yang saat itu sudah berusia 37 tahun, juga menjadi korbannya. Kahn dipaksa menyerahkan singgasananya kepada Jens Lehmann selalu tampil bagus bersama Arsenal.
Semula, Kahn tidak terima dengan keputusan tersebut. Kiper Bayern Munich tersebut masih menganggap dirinya pantas untuk menjadi penjaga gawang utama timnas Jerman. Alhasil, terciptalah konflik internal di dalam timnas Jerman.  "Saat itu saya seperti mendapatkan tamparan di wajah saya," begitu kenang Kahn. "Saya bertanya kepada diri sendiri: Apakah Lehamnn dan Klinsmann menggunakan penasehat yang sama? Apakah Bierhoff (manajer Jerman) dan Lehmann sudah saling kenal sejak mereka masih kecil? Apakah ini sebuah kebetulan bahwa istri mereka berteman?"

Sikap legawanya ketika digeser oleh Jens Lehmann di timnas justru membuat banyak orang menghormatinya
Namun seiring berjalannya waktu Kahn akhirnya dapat menerima keputusan Klinsmann tersebut. Dirinya mulai sadar bahwa dia tetap bisa membantu timnya meski itu harus dilakukan dari bangku cadangan. Dan puncak dari kesadarannya tersebut terjadi saat dirinya menjabat tangan Lehmann menjelang babak adu penalti saat melawan Argentina pada pertandingan perempat-final. Itu adalah jabat tangan yang memiliki arti sebuah dukungan. Berbarengan dengan ego Kahn yang meluntur demi kepentingan negaranya, Olympiastadion, Berlin, bergemuruh hebat.
Kesadaran bahwa Anda tidak selalu harus berdiri di lapangan hanya untuk kemenangan itu sangat membebaskan. Seseorang bisa sukses dengan cara membantu tim, membantu pemain-pemain lain
- Oliver Kahn
"Saya banyak belajar pada tahun 2006 (Piala Dunia). Setelah kalah, saya bertanya kepada diri sendiri: Apakah saya bisa melakukan perbedaan? Bagaimana saya bisa terus tumbuh? Setelah Piala Dunia 2006, saya tahu bahwa Anda tidak selalu membutuhkan keberhasilan di atas lapangan. Kesadaran bahwa Anda tidak selalu harus berdiri di lapangan hanya untuk kemenangan itu sangat membebaskan. Seseorang bisa sukses dengan cara membantu tim, membantu pemain-pemain lain. Tiba-tiba saya memiliki empati untuk orang-orang yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan."
Kahn kemudian hanya bermain dalam satu pertandingan pada Piala Dunia 2006, yaitu saat Jerman mengalahkan Portugal 3-1 di perebutan tempat ketiga. Itu kemudian menjadi pertandingan terakhirnya dengan seragam timnas Jerman. Setelah pertandingan tersebut, Kahn memutuskan pensiun dari timnas yang sudah dibelanya dalam 86 pertandingan dan dikapteninya dalam 49 pertandingan. Dalam pertandingan tersebut dirinya beberapa kali membuat penyelamatan penting, dan membuat Critiano Ronaldo dan Nuno Gomez nyaris kehilangan akal untuk mengalahkannya.

Pesta di Jerman memang ditutup oleh kemenangan Italia. Tetapi, terutama bagi publik sepakbola Jerman, pesta itu sebetulnya sudah ditutup ketika Oliver Kahn, salah satu penjaga martabat bangsa terbaik yang pernah dimiliki Jerman, melakoni pertandingan terakhirnya sehari sebelum berlangsungnya pertandingan final.

Sumber : FOURFOURTWO.COM

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads

Ads

Join our Team

Popular Posts