Video of the Day

MENDUKUNG ARSENAL ITU MELELAHKAN

Sabtu, 17 Februari 2018

Mendukung Arsenal Itu Melelahkan

Mendukung Arsenal itu melelahkan? Apakah solusinya adalah jangan terlalu berharap dengan mereka? Kata orang, mengalahkan Arsenal itu juga gampang. Kuncinya adalah jangan terlalu respek kepada mereka! Sesuatu yang tak beres selama 10 tahun terakhir terus menghantui penggemarnya. Semakin terlihat, semakin terang.

Sebelum kalah dari Chelsea pada Sabtu lalu, para ahli telah meramalkannya. Bak psikolog, mereka menyoroti personalitas Arsene Wenger. Segala yang ada di pikiran melalui segenap perhatian, energi, dan konsentrasi, baik dengan getaran positif maupun negatif cepat lambat akan datang.
Di dalam konsep Law of Attraction itu, nasib mujur Diego Costa dan nasib sial Gabriel Paulista hanya satu mata rantai dari berbagai rangkaian menuju hasil akhir. Semua kejadian yang menjamin kemenangan Chelsea sebenarnya ‘sudah’ ditentukan oleh harga mati konsep Wenger yang selalu ingin fashionable.
Sejak Wenger mendapat ‘wangsit’ pada 2005, semua orang tahu problem akbar Arsenal cuma dua: mental blok dan nasib sial. Dalam konsep Law of Attraction, nestapa apa pun mereka hingga kini tak akan pernah melampaui tragedi 2006 dan 2011 melawan Barcelona dan Birmingham City.
Mental blok adalah problem internal. Sementara itu, apes atau sial menjadi problem eksternal. Untuk sukses di sepak bola, kualitas saja tidak cukup. Karakter diri dan sikap mental justru paling menentukan. Dalam taraf dasar, maknailah pola pikir Claudio Ranieri alias cara bermain Leicester City.
Apa yang diharapkan pada Olivier Giroud atau Theo Wal cott justru ada di diri Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Kata-kata bijak yang selalu berlaku adalah keberuntungan cenderung berada di pihak yang berani. Kalau Walcott gagal memanfaatkan peluang itu bukannya sial, tapi ini sikap mental atau kurang latihan!
Lihatlah deretan sial Arsenal di awal musim 2015/16. Gol Aaron Ramsey dianulir saat melawan Liverpool. Kartu merah Giroud yang tak sengaja bikin pemain Zagreb tersandung. Kartu merah Gabriel. Costa lolos dari kartu merah setelah mencakar, menampar, menanduk Koscielny serta memprovokasi Gabriel.
Demi Intuisi
Untuk menang, Anda tak boleh mencari keadilan di sepak bola. Sikap mental dan karakter Koscielny di big-game patut dicerca. Ia tak bereaksi respek layaknya Tony Adams atau Martin Keown. Ia juga melupakan fungsi bek tengah, menteri pertahanan dalam sepak bola.
Boleh jadi nasib Arsenal saat itu sudah ditentukan oleh apatisme Koscielny walau ditabok dan ditanduk Costa. Mulai besok seharusnya Gabriel jadi kapten baru Arsenal, karena sikap mental dan karakternya lebih baik dari seluruh pemain Arsenal.
Lepas dari cara menanggung ketidakadilannya yang salah. Dalam hidup unsur karakter selalu memengaruhi nasib baik. Alex Ferguson dan Jose Mourinho selalu mengambil risiko yang dimaknai sebagai keberanian. Jika Wenger melakukan itu, orang membacanya sebagai kenekatan.
Nekat dan berani dipisahkan perhitungan matang berdasarkan sikap mental dan karakter. Layaknya kehidupan, sepak bola berisikan hal-hal positif dan negatif. Aksi Costa mencoreng lawan dalam falsafah Italia disebut furbizia.
Sepak bola itu cuma permainan belaka, Tuhan tak menghitung kecurangan saat bermain sebagai dosa. Malah mereka percaya sepak bola seperti peperangan di mana membunuh orang tak akan dihitung sebagai dosa.
Hasilnya, sukses para manajer otoriter model Hitler biasanya lebih nendang dari yang bertipe Gandhi, Vittorio Pozzo, Herbert Chapman, Rinus Michels, Bill Shankly, Ferguson, sampai Josep Guardiola dan Mourinho.
Terlalu lama jadi Gandhi membuat gaya permainan Wenger diremehkan rival. Obsesi jadi pemenang tak pernah sebesar obsesinya pada permainannya. Fokus bukan pada tujuan, tetapi proses. Inilah jawaban kenapa dia ditinggal Ashley Cole, Robin van Persie, Cesc Fabregas, atau Samir Nasri.
Ketimbang cinta, kadang-kadang intuisi lebih bisa memberi bukti pada hasrat tertinggi: menjuarai Premier League. Tujuan yang terarah bisa memotong waktu, sedangkan proses tanpa inovasi sikap mental bakal menghabiskan waktu. Inilah drama di Arsenal, sejak 2005 sampai 2015.
Jangan lagi sebagai fansnya, orang yang empati dengan Arsenal pun akan bilang mendukung Arsenal itu ternyata melelahkan.

SUMBER : BOLASPORT.COM

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads

Ads

Join our Team

Popular Posts