False nine. Istilah ini sudah cukup akrab bagi para penonton dan pesepakbola. Meskipun begitu, masih banyak yang salah kaprah pada pengertian istilah tersebut. Banyak yang menyangka bahwa false nineadalah penyerang palsu di mana seorang gelandang yang ditempatkan sebagai penyerang.
Contohnya pada laga Persib Bandung menghadapi Bhayangkara FC akhir September lalu. Kala itu komentator pertandingan berulang kali menyebutkan bahwa Raphael Maitimo bermain sebagai false nine. Pemain berpaspor Indonesia itu bermain sebagai penyerang lantaran penyerang andalan Persib, Ezechiel Ndouassel, absen karena akumulasi kartu. Maitimo sendiri biasanya ditempatkan sebagai gelandang.
Anggapan Maitimo sebagai false nine sebenarnya kurang tepat. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya, gaya bermain Maitimo, dari cara bergerak dengan maupun tanpa bola, ia bermain seperti Ezechiel, seorang target man. False nine memang tidak sesederhana pemain gelandang yang menempati pos penyerang.
False nine bukanlah posisi, melainkan peran (role). Maka untuk melihat peran, kita memang perlu melihat dari cara seorang pemain bermain. Singkatnya, peran pemain bukan tentang siapa yang memainkannya, tapi seperti apa ia bermain. Sementara ketika itu, Maitimo tidak mencerminkan permainan seorang false nine.
Pertanyaannya, memangnya seperti apa gaya bermain seorang false nine? Sejarah penggunaan false nine itu sendiri tampaknya akan cukup bisa menggambarkannya.
Awal Kemunculan False Nine
Peran false nine mungkin baru populer ketika Fabregas di timnas Spanyol atau Lionel Messi memainkannya di Barcelona. Tapi sebenarnya, peran ini sudah ada sejak 1930an. Adalah Danubian School di Austria yang pertama kali menggunakan false nine. Ketika itu, seperti yang ditulis Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: the history of football tactics,Danubian School yang dilatih Hugo Meisl menggunakan pola dasar 2-3-5 dengan penyerang tengah no.9 ditarik agak mundur dibanding empat penyerang lain yaitu penyerang no.7, 8, 10 dan 11.
Tak hanya di Austria dan Eropa Tengah lain, Wilson juga menuliskan bahwa River Plate pun saat itu menggunakan pola yang sama. Walau begitu, ia menegaskan bahwa Mathias Sindelaar dari Hungaria-lah yang sukses mempopulerkan peran false nine lewat permainannya yang meski penyerang, ia lebih sering berada di depan kotak penalti (drop deeper) dan menjadi pembagi bola serta pencipta ruang di lini pertahanan lawan.
Peran yang dimainkan Sindelaar tersebut dimainkan juga oleh penggawa timnas Hungaria 1950an, Nandor Hidegkuti. Melawan Inggris di Wembley pada 25 November 1953, ia menjadi momok pertahanan Inggris. Kemampuannya memudahkan Ferenc Puskas (10) dan Sandor Kocsis (8) serta Zoltan Czibor (11) dan Laszlo Budai (7) di kedua sayap. Walau begitu, peran false nine Hindegkuti tersebut tak mengurangi ketajamannya, di mana ia berhasil mencetak hattrick dalam kemenangan Hungaria dengan skor 6-3 tersebut.
"Dia [Hidegkuti] pemain hebat dan bisa membaca permainan dengan luar biasa," kata Puskas. "Dia sempurna untuk peran itu [false nine]; bermain di depan gelandang, membuat umpan berbahaya, menggiring pertahanan lawan untuk keluar dari bentuknya dan membuat aksi fantastis saat mencetak gol untuk dirinya sendiri."
Bermain mengenakan nomor punggung 9, saat itu siapapun akan menyangka jika Hidegkuti merupakan pemain yang akan banyak bergerak di kotak penalti, menyambut umpan-umpan silang, atau memanfaatkan umpan-umpan terobosan yang khas dengan penyerang no.9 klasik. Menurut Wilson, komentator pertandingan saat itu pun tertipu dengan nomor punggung pemain Hungaria dan cara bermain skuat asuhan Gusztav Sebes itu yang berbeda dengan kesebelasan kebanyakan. Dari situlah laga antara Hungaria vs Inggris ini disebut-sebut sebagai salah satu pertandingan yang merevolusi taktik sepakbola dunia.
"Anda sekalian pasti dibingungkan oleh beberapa nomor punggung pemain Hungaria," kata Kenneth Wolstenholme dalam Inverting the Pyramid. "Alasannya nomor punggung mereka, dengan pemain centre-half sebagai nomor 3 (biasanya 5), dan pemain bek sebagai nomor 2 dan 4 (biasanya 2 dan 3)." Saat itu, alih-alih bermain sebagai libero, nomor 5, Jozsef Bozsik, merupakan gelandang yang menyokong Hidegkuti sebagai false nine.
Namun skema itu tak selamanya digunakan oleh Hungaria. Bahkan setelah Hungaria beralih ke 4-2-4, yang saat itu dipopulerkan Brasil, Hidegkuti tidak lagi bermain sebagai false nine. Apalagi ketika itu Boszik semakin punya peran penting di sisi kanan Hungaria agar memudahkan Hidegkuti dalam mencetak gol.
False Nine Era Modern
Setelah sekian lama menghilang, peran false nine kembali muncul di Eropa pada 2006/2007. Adalah Luciano Spalletti yang saat itu menukangi AS Roma yang menggebrak persepakbolaan Eropa dengan false nine. Ia memainkan Francesco Totti yang biasanya bermain sebagai gelandang serang pengatur serangan menjadi penyerang dalam formasi dasar 4-1-4-1. Walau begitu, bentuk penyerangan Roma saat itu membuat mereka seperti bermain tanpa penyerang, karena Totti tetap bermain layaknya gelandang serang meski secara posisi ia ditempatkan menjadi penyerang tengah.
Perubahan ini dicoba Spalletti lantaran tumpulnya para penyerang tengah Roma. Apalagi musim tersebut Antonio Cassano baru hijrah ke Real Madrid. Mirko Vucinic penggantinya tak bisa berbuat banyak lantaran ia menderita cedera lutut sejak musim pertama ia bergabung. Vincenzo Montella tak setajam beberapa tahun sebelumnya. Begitu juga dengan Ahmed Hossam Mido dan Francesco Tavano.
Di sisi lain, 4-1-4-1 yang digunakan Spalletti dengan Totti sebagai false nine justru membuat ikon Roma tersebut panen gol. Ia mencetak 32 gol dalam satu musim, membuatnya meraih gelar top skor Serie A dan Sepatu Emas. Eksperimen Spalletti yang sebelumnya lebih sering menggunakan 4-2-3-1 sangat berhasil saat itu.
Skema 4-1-4-1 tanpa penyerang ini membuat Roma menyerang sangat cair (fluid) karena mereka tidak menyerang hanya lewat satu sisi. Dalam 4-1-4-1, Spalletti membaginya ke dalam dua grup, lima pemain bertahan, dan lima pemain menyerang. Lima pemain bertahan dipimpin oleh Daniele De Rossi, sementara lima pemain menyerang dipimpin oleh Totti. Dengan visi, kreasi dan teknik yang dimilikinya, Totti pun bisa membuat serangan Roma lebih dinamis dan menyerang lewat segala arah.
Saat serangan dari segala arah tersebut membuat lini pertahanan lawan kewalahan, Totti juga bisa mendapatkan ruang yang cukup ketika lini pertahanan lawan terfokus pada pemain lain (Mancini dan Rodrigo Taddei di kedua sayap, Simone Perrotta dan David Pizarro di tengah) yang memanfaatkan ruang hasil kreasi Totti. Dengan serangan seperti ini, tak hanya Totti yang mencetak banyak gol, Mancini dan Perrotta juga masing-masing berhasil mencetak 13 gol pada musim tersebut.
Totti yang semakin bertambah usia membuat keluwesannya bermain berkurang setiap musimnya. Spalletti pun coba mereplika sosok Totti dengan merekrut Julio Baptista dan Jeremy Menez, dua pemain yang bisa bermain sebagai gelandang serang maupun penyerang. Namun hasilnya nihil hingga Spalletti memutuskan mundur dari kursi kepelatihan Roma pada 2009.
Di saat era Spalletti berakhir bersama Roma, di tahun yang sama, sebelum itu, Pep Guardiola yang kala itu menjadi pelatih Barcelona membuat false nine seolah terlahir kembali pada laga akbar bertajuk El Clasico menghadapi Real Madrid. Ketika itu, ia memanfaatkan seorang pemuda berusia 21 tahun menjadi otak serangan Barca pada laga yang berakhir dengan skor 6-2 tersebut. Pemuda itu Lionel Messi.
Sehari sebelum pertandingan tersebut, seperti yang dikisahkan dalam otobiografi Pep yang berjudul "Herr Pep", Pep menelepon Messi pada pukul 10 malam untuk memberikan instruksi khusus padanya di laga El Clasico tersebut. "Leo, ini aku, Pep. Aku baru saja melihat sesuatu yang penting. Lebih baik kau datang ke sini sekarang. Sekarang, aku mohon," kata Pep dalam tulisannya.
Messi lantas datang ke kantor Pep. Pep kemudian menunjukkan rekaman pertandingan Real Madrid dan memberitahu area kosong yang nantinya akan menjadi area bermain Messi. Area tersebut terletak di antara dua bek tengah Madrid dan dua gelandang tengah Madrid karena kegemaran gelandang Madrid yang selalu melancarkan tekel agresif pada gelandang lawan. Messi diwajibkan berada di area tersebut untuk memancing salah satu di antara bek tengah Madrid, antara Cristoph Metzelder ataupun Fabio Cannavaro, untuk keluar dari pakem bermainnya. Pep menyebutnya dengan "Messi Zone".
Ketika pertandingan, Pep awalnya memainkan skema 4-3-3 seperti biasa. Messi ditempatkan di sayap kanan. Di tengah Samuel Eto`o, di kiri Thierry Henry. Namun pada menit ke-10, rencana Pep mulai dijalankan. Messi menempati "Messi Zone" sesuai yang diarahkan Pep malam sebelumnya. Meski terlihat seperti pertukaran biasa, pertukaran ini merupakan pertukaran tak biasa bagi Metzelder dan Cannavaro.
"Fabio [Cannavaro] dan aku saling memandang," kata Metzelder pada Marti Perarnau, penulis Herr Pep. "Kami seolah bertanya, `Apa yang akan kita lakukan? Apakah kita harus mengikutinya ke tengah atau menjaga kedalaman?`. Saat itu kami benar-benar tak memiliki petunjuk."
Cannavaro dan Metzelder kebingungan. Hingga akhirnya mereka kerap terpancing untuk menjaga Messi. Di situlah celah di lini pertahanan Madrid sering tercipta. Garis pertahanan Madrid tak seimbang. Umpan-umpan dan pergerakan Messi berhasil memorak-porandakan pertahanan Madrid dengan enam gol yang mereka ciptakan.
Messi sebelum (atas) dan sesudah (bawah) bermain sebagai false nine di laga Real Madrid vs Barcelona (2 Mei 2009).
Pada laga tersebut, selain mencetak asis, Messi juga mencetak dua gol. Dari sini Pep sudah melihat kemampuan Messi bermain di area antara gelandang bertahan dan bek tengah. Sejak saat itulah Messi bermain sebagai
false nine, yang menjadi
gaya permainan khasnya hingga saat ini.
Di Barcelona sendiri, tidak hanya Messi yang mengemban peran false nine. Cesc Fabregas pun sempat dicoba oleh Pep bermain sebagai false nine ketika ia kembali ke Barcelona pada 2011. Bahkan lewat peran ini, Spanyol asuhan Vicente del Bosque berani bermain dengan formasi dasar 4-6-0 pada Piala Eropa 2012 karena kemampuan Fabregas bermain sebagai false nine. Dari situlah false nine identik dengan seorang gelandang yang ditempatkan sebagai penyerang.
***
Dari cerita-cerita di atas, peran false nine memiliki beberapa kecenderungan. Seorang false nine tidak banyak bermain di area kotak penalti layaknya penyerang klasik. Seorang false nine bahkan tampak seperti seorang gelandang serang yang punya visi, daya jelajah, teknik (umpan maupun dribel) dan kreasi serangan yang tinggi. Maka dari itu tugasnya tidak hanya mencetak gol, ia juga harus menciptakan ruang bagi dirinya sendiri maupun rekan setim.
Sentuhan Messi saat bermain sebagai false nine vs Girona, mayoritas bermain di area antara bek tengah dan gelandang tengah.
Dengan tugas seperti ini, tak banyak memang pemain yang bisa bermain sebagai false nine. Selain Totti dan Messi, pemain yang dikenal mahir bermain sebagai false nine adalah Fabregas. Sekarang baru muncul Dries Mertens yang produktif bersama Napoli setelah diplot sebagai false nine oleh Maurizio Sarri karena penyerang mereka, Arkadiusz Milik, cedera panjang. Sarri bahkan menyebut false nine yang diperankan Mertens dengan falso nuevo.
Dalam penyebutan peran, kita memang tidak bisa hanya melihat posisinya saja, tapi juga bagaimana ia bermain. Apalagi untuk peran false nine, terbilang tidak sembarangan karena hanya sedikit pemain yang fasih memerankan peran ini.
Sumber : PANDITFOOTBALL.COM
0 komentar:
Posting Komentar