Video of the Day

MENDUKUNG ARSENAL ITU MELELAHKAN

Sabtu, 17 Februari 2018 0 komentar

Mendukung Arsenal Itu Melelahkan

Mendukung Arsenal itu melelahkan? Apakah solusinya adalah jangan terlalu berharap dengan mereka? Kata orang, mengalahkan Arsenal itu juga gampang. Kuncinya adalah jangan terlalu respek kepada mereka! Sesuatu yang tak beres selama 10 tahun terakhir terus menghantui penggemarnya. Semakin terlihat, semakin terang.

Sebelum kalah dari Chelsea pada Sabtu lalu, para ahli telah meramalkannya. Bak psikolog, mereka menyoroti personalitas Arsene Wenger. Segala yang ada di pikiran melalui segenap perhatian, energi, dan konsentrasi, baik dengan getaran positif maupun negatif cepat lambat akan datang.
Di dalam konsep Law of Attraction itu, nasib mujur Diego Costa dan nasib sial Gabriel Paulista hanya satu mata rantai dari berbagai rangkaian menuju hasil akhir. Semua kejadian yang menjamin kemenangan Chelsea sebenarnya ‘sudah’ ditentukan oleh harga mati konsep Wenger yang selalu ingin fashionable.
Sejak Wenger mendapat ‘wangsit’ pada 2005, semua orang tahu problem akbar Arsenal cuma dua: mental blok dan nasib sial. Dalam konsep Law of Attraction, nestapa apa pun mereka hingga kini tak akan pernah melampaui tragedi 2006 dan 2011 melawan Barcelona dan Birmingham City.
Mental blok adalah problem internal. Sementara itu, apes atau sial menjadi problem eksternal. Untuk sukses di sepak bola, kualitas saja tidak cukup. Karakter diri dan sikap mental justru paling menentukan. Dalam taraf dasar, maknailah pola pikir Claudio Ranieri alias cara bermain Leicester City.
Apa yang diharapkan pada Olivier Giroud atau Theo Wal cott justru ada di diri Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Kata-kata bijak yang selalu berlaku adalah keberuntungan cenderung berada di pihak yang berani. Kalau Walcott gagal memanfaatkan peluang itu bukannya sial, tapi ini sikap mental atau kurang latihan!
Lihatlah deretan sial Arsenal di awal musim 2015/16. Gol Aaron Ramsey dianulir saat melawan Liverpool. Kartu merah Giroud yang tak sengaja bikin pemain Zagreb tersandung. Kartu merah Gabriel. Costa lolos dari kartu merah setelah mencakar, menampar, menanduk Koscielny serta memprovokasi Gabriel.
Demi Intuisi
Untuk menang, Anda tak boleh mencari keadilan di sepak bola. Sikap mental dan karakter Koscielny di big-game patut dicerca. Ia tak bereaksi respek layaknya Tony Adams atau Martin Keown. Ia juga melupakan fungsi bek tengah, menteri pertahanan dalam sepak bola.
Boleh jadi nasib Arsenal saat itu sudah ditentukan oleh apatisme Koscielny walau ditabok dan ditanduk Costa. Mulai besok seharusnya Gabriel jadi kapten baru Arsenal, karena sikap mental dan karakternya lebih baik dari seluruh pemain Arsenal.
Lepas dari cara menanggung ketidakadilannya yang salah. Dalam hidup unsur karakter selalu memengaruhi nasib baik. Alex Ferguson dan Jose Mourinho selalu mengambil risiko yang dimaknai sebagai keberanian. Jika Wenger melakukan itu, orang membacanya sebagai kenekatan.
Nekat dan berani dipisahkan perhitungan matang berdasarkan sikap mental dan karakter. Layaknya kehidupan, sepak bola berisikan hal-hal positif dan negatif. Aksi Costa mencoreng lawan dalam falsafah Italia disebut furbizia.
Sepak bola itu cuma permainan belaka, Tuhan tak menghitung kecurangan saat bermain sebagai dosa. Malah mereka percaya sepak bola seperti peperangan di mana membunuh orang tak akan dihitung sebagai dosa.
Hasilnya, sukses para manajer otoriter model Hitler biasanya lebih nendang dari yang bertipe Gandhi, Vittorio Pozzo, Herbert Chapman, Rinus Michels, Bill Shankly, Ferguson, sampai Josep Guardiola dan Mourinho.
Terlalu lama jadi Gandhi membuat gaya permainan Wenger diremehkan rival. Obsesi jadi pemenang tak pernah sebesar obsesinya pada permainannya. Fokus bukan pada tujuan, tetapi proses. Inilah jawaban kenapa dia ditinggal Ashley Cole, Robin van Persie, Cesc Fabregas, atau Samir Nasri.
Ketimbang cinta, kadang-kadang intuisi lebih bisa memberi bukti pada hasrat tertinggi: menjuarai Premier League. Tujuan yang terarah bisa memotong waktu, sedangkan proses tanpa inovasi sikap mental bakal menghabiskan waktu. Inilah drama di Arsenal, sejak 2005 sampai 2015.
Jangan lagi sebagai fansnya, orang yang empati dengan Arsenal pun akan bilang mendukung Arsenal itu ternyata melelahkan.

SUMBER : BOLASPORT.COM

"YANG "WAJIB" DI"SUNNAH"KAN YANG "SUNNAH" DI"WAJIB"KAN"

0 komentar

Turnamen Pramusim yang Melelahkan untuk Dipahami

Emirates Cup, International Champions Cup, dan Audi Cup. Turnamen ini adalah laga pramusim bagi klub-klub di luar negeri yang aksi mereka kerap kita nikmati lewat layar kaca.
Ada sebuah kesamaan yang bisa kita lihat dari ajang pramusimdi luar negeri. Atas nama pemasaran, setiap tim memang diharapkan membawa skuat terbaik termasuk bintang mereka.
Namun, tidak ada kewajiban membawa pemain yang baru membela tim nasional di sebuah turnamen internasional seperti Piala Dunia atau Piala Eropa dan Copa America.
Mengikuti turnamen pramusim bukanlah target utama dalam membangun tim.  
Ajang ini merupakan sarana bagi pelatih untuk melihat dan menguji tim yang dibentuk untuk berkompetisi di musim yang baru. Termasuk memberi jam terbang bagi pemain lapis kedua.
Tujuan lain? Dari ajang International Champions Cup 2017, kubu Manchester United menerima upah tampil sebesar 20 juta pound alias nyaris mencapai 377 miliar rupiah. Bisnis!
Juventus dan PSG menerima 12 juta pound atas tiga penampilan mereka di Amerika serikat dalam ICC 2017.
Tentu angka-angka di turnamen pemanasan tersebut tak bisa dibandingkan dengan “upah” menjuarai Piala Presiden 2018.
Juara Piala Presiden 2018, yang kini berstatus laga pramusim, "hanya" menerima uang sebesar 3,3 miliar rupiah.
Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 300 juta rupiah yang diberikan kepada Arema FC selaku juara Piala Presiden 2017.
Mengikuti Piala Presiden di babak penyisihan membuat klub peserta tak perlu mengeluarkan uang karena menerima “ongkos jalan” sebesar 100 juta menuju kota tuan rumah.
Kubu tuan rumah pun tak ketinggalan mengisi kas keuangan karena mendapatkan “uang lelah” yang menggiurkan, 800 juta rupiah.
Bisa jadi sikap ngotot tim-tim peserta Piala Presiden untuk menang dapat diterima karena dari situlah mereka mengisi kas klub yang tak rutin terisi. Plus, gengsi meraih gelar juara. Maklum, ada embel-embel Presiden di nama turnamen.
Satu kemenangan di Piala Presiden 2018 diganjar hadiah 125 juta rupiah. Hasil imbang berdampak pada pemasukan 100 juta dan kalah 75 juta rupiah.
Namun, kenapa klub yang di awal keikutsertaan laga pramusimini menurunkan tim pelapis lalu berbelok arah lebih serius ingin menang ketimbang all out di turnamen resmi berskala Asia?
Adalah wajar kehadiran turnamen seperti Piala Presidendisambut hangat bak mengobati kerinduan menyaksikan liga resmi ketika federasi sepak bola di negara ini tak bisa memutar roda kompetisi.
Akan tetapi, posisi dan gengsi turnamen yang kemudian ditempatkan pada laga pramusim seolah menyaingi liga resmi yang akan digelar dalam waktu dekat. OMG!
Oh ya, bahkan kabarnya jadwal roda kompetisi resmi bergeser demi memberikan jalan bagi turnamen pramusim yang lain. Bisnis?
Dalam sebuah perbincangan dengan pelatih sepak bola di Tanah Air, problem yang sangat mengganggu klub disebutnya ketidakkonsistenan pengelola liga. Sepakat!
Sulit bagi pelatih mengatur waktu program bagi timnya ketika jadwal berubah-ubah tanpa alasan yang jelas. Juga plintat-plintut aturan, seperti status keberadaan pemain berusia 23 tahun dalam tim.
Mungkinkah jadwal resmi kompetisi diluncurkan kurang dari 30 hari sebelum liga dimulai?
Bila Anda tinggal di Indonesia, anggukan kepala adalah jawabannya.
Mungkinkah jadwal kompetisi diubah tanpa penjelasan yang kuat bagi pelatih untuk membongkar program kepelatihan yang telah mereka susun? Angguk lagi deh.
Mungkinkan jadwal pramusim begitu dekat dengan kick-offpertama kompetisi resmi? Anda tahu jawabannya.
Seorang pelatih perlu tahu ke stadion mana ia akan membawa tim asuhannya di laga-laga perdana. Persiapan bukan melulu soal akomodasi dan transportasi, juga faktor fisik pemain bila menempuh perjalanan jauh.
Kembali ke turnamen pramusim di tanah Air, ada pelatih yang mengaku tak berminat menginstruksikan timnya tampil all outmemburu gelar juara.
“Bagi saya, yang namanya turnamen pramusim itu bertujuan mencari kerangka tim, melihat kelemahan tim, dan semakin membuat solit tim yang sudah ada. Kecuali, tim yang ia asuh tak banyak berubah dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Akhirnya, mari mengingat salah satu target yang diberikan kepada pelatih timnas kita, Luis Milla. Gelar juara Piala AF 2018 sungguh sangat dirindukan.
Lalu, sudahkah kita memberikan jalan bagi tim pelatih timnas untuk menyiapkan pasukan Garuda Merah-Putih berdasarkan kompetisi yang rapi dan berkualitas?
Jangan sampai kaki-kaki para pemain yang terpilih masuk timnas untuk Asian Games 2018 dan Piala AFF 2018 sudah keburu letih di laga pramusim dan terkulai di paruh pertama kompetisi. Alamak!

SUMBER : BOLASPORT.COM

CATATAN PRIBADI : Pramusim dibikin "wajib" dan Kompetisi resmi Liga "disunahkan" Mungkin jika dalam bahasa agama mah "YANG "WAJIB" DI"SUNNAH"KAN YANG "SUNNAH" DI"WAJIB"KAN"

MARACANAZO (SEJARAH SEPAKBOLA YANG JARANG DIKETAHUI DAN NYARIS TERLUPAKAN)

Kamis, 15 Februari 2018 1 komentar

Maracanazo (Bagian 1): Sebuah Tragedi di Tanah Brasil

Getty Images
Minggu pagi 16 Juli 1950, suasana persiapan pesta terlihat di hampir seluruh penjuru Brasil. Sedari pagi, bangsa yang menyejajarkan sepakbola dengan agama itu, terutama di sekitaran Maracana, sudah menyiapkan segala sesuatunya. Kembang api, karnaval, makanan dan minuman khas pesta mulai disiapkan. Beberapa makanan dan minuman ada yang habis duluan. Guna mengisi perut untuk berangkat ke stadion.

Sementara di stadion, panitia tak mau kalah sigap. Mulai pukul 07:00 pagi waktu setempat, semua sudah bersiap-siap. Rela lembur dan bekerja lebih pagi demi pertandingan penting bagi seluruh rakyat Brasil pukul 15:00 sorenya; partai pamungkas sekaligus penentuan juara Piala Dunia 1950 antara Brasil melawan Uruguay.

Pada bagian dalam stadion, semua yang menjadi panitia sibuk dengan tugas-tugasnya. Di sebuah ruangan, tiga-empat orang sibuk memeriksa kembali dengan jeli 22 medali. Diperiksanya berulang-ulang setiap medali Piala Dunia 1950 yang sudah terlebih dahulu diukir dengan nama skuat Brasil. Padahal, kala itu FIFA belum memiliki tradisi memberikan medali pada pemenang Piala Dunia.

Di tribun VIP, petugas kebersihan mulai membersihkan bangku-bangku untuk para pejabat. Sementara di pinggir lapangan, para panitia sibuk dengan gladi resiknya. Bukan untuk seremonial sebelum pertandingan, karena memang sudah menjadi rutinitas selama sebulan ini, tapi untuk persiapan "pesta" setelah pertandingan.

Podium mana untuk pembagian medali dan angkat trofi, siapa saja yang harus berdiri di sana, kapan Julies Rimet (Presiden FIFA) memberikan pidatonya, di mana spot terbaik bagi fotografer mengambil gambarnya dan persiapan sejenisnya, semua disusun, diatur dan disiapkan dengan rapih.

Pihak kemanan yang terdiri dari 5.000 polisi dan didukung beberapa satuan militer juga bersiap. Meski pengamanannya dibagi dengan yang di luar stadion, namun konsentrasi lebih difokuskan ke tribun. Mereka tak mau insiden 2 orang meninggal dan sekitar 260 orang cedera karena jatuh di stadion Kamis minggu sebelumnya, saat Brasil mengalahkan Spanyol 6-1, terulang.

Sedangkan untuk di luar stadion, pihak keamanan juga memeriksa tas demi tas yang dibawa pendukung Brasil. Tak boleh ada kembang api dan petasan lagi di dalam stadion, meski pada akhirnya beberapa lolos juga.

Kembali ke luar area stadion, sekitar jam 9:00 pagi, jalan-jalan di Rio de Janeiro kian padat. Lalu lalang trem yang penuh sesak mengangkut calon penonton membuat pemandangan di jalan terlihat sibuk. Karnaval spontan ini lebih sibuk dan padat dari karnaval-karnaval yang pernah ada sebelumnya.

Ratusan ribu orang, yang sebagian besar mengenakan setelan putih-putih, menyelaraskan dirinya dengan warna jersey Brasil kala itu, berjalan menuju Maracana. Chant "Brasil Juara" nyaring terdengar dari mulut mereka.

Dua jam berselang, atau sekitar empat jam sebelum peluit panjang dibunyikan, stadion sudah dipenuhi hampir 200 ribu orang --dari hasil penjualan tiket tercatat 173.830, catatan lainnya sekitar 210.000. Pendukung-pendukung Brasil itu mengklaim dirinya beruntung karena bisa masuk ke stadion, meski sebenarnya melebihi kapasitas yang ada.

Mereka merasa beruntung menjadi bagian dari pemecahan rekor jumlah penonton terbesar dalam sejarah sepakbola. Beruntung, karena sebentar lagi menjadi saksi sejarah sepakbola Brasil yang mengangkat trofi Piala Dunia untuk kali pertama.

Penuh sesak tak dirasa. Berjemur di bawah mentari berjam-jam menunggu kick-off juga tetap terasa sejuk karena berlindung di bawah nyanyian juara. Semua itu dilakukan demi menyambut gelar juara dunia.

Ya, mereka menganggap tinggal menyambut, tidak untuk merebut. Meskipun faktanya pertandingan belum dimulai.

Di atas kertas Brasil memang sudah dibilang juara. Brasil hanya butuh hasil seri dari Uruguay di pertandingan terakhir dari final round ini. Faktor tuan rumah dan sukses mencetak 21 gol dari lima pertandingan sebelumnya cukup kuat untuk membuat mereka percaya diri.

Gemuruh gempita Maracana kian meninggi beberapa menit sebelum kick-off. Terutama saat selecao (pemain pilihan) disemangati oleh walikota Rio saat itu, Angelo Mendes de Moraes, usai balon seremonial dengan poster bertuliskan "Viva O Brasil" dilepas ke udara.

"Kalian, para pemain yang dalam beberapa jam ke depan akan dipuji sebagai juara oleh jutaan pendukungmu, kalian tak akan punya pesaing lagi di belahan bumi ini. Kalian lah juara dunia," kata Moraes melalui loudspeaker seperti yang dituliskan Alex Bellos dalam buku 'Futebol'.



Persiapan juara dan gegap gempita di stadion itu memang sedikit membuat skuat Uruguay nerveous. Nyali mereka menciut. Adanya kabar kalau mereka akan didukung 280-an suporter sedikit membuat mereka tersenyum. Tapi suara suporter Uruguay yang hanya segelintir membuat senyum mereka terasa getir.

Pertandingan, yang menurut pendukung Brasil hanyalah formalitas karena hasilnya sudah dapat ditebak, ini pun dimulai. Seorang wasit asal Inggris, George Reader memimpin laga ini dengan ditemani dua asistennya, yakni rekan senegaranya Arthur Ellis sebagai asisten 1, dan asisten 2 George Mitchell dari Skotlandia.

Babak pertama pertandingan ini pun berjalan sesuai yang diprediksikan. Brasil mengurung pertahanan Uruguay. Gemuruh di Maracana seringkali meninggi kala tim asuhan Flavio Rodrigues da Costa itu mendapatkan peluang. Tapi paruh pertama tetap berakhir tanpa gol.

Gegap gempita stadion yang awalnya bernama Estadio Mario Filho itu pun mencapai puncaknya saat babak kedua baru berjalan dua menit. Brasil semakin dekat dengan tangga juara kala Friaca menaklukkan kiper Uruguay, Roque Maspoli. Friaca yang lepas dari jebakan offside berhadapan one on one dengan penjaga gawang dan dengan mudah membawa Brasil memimpin 1-0.

Matahari masih ada, tapi kembang api dan petasan terlihat menyala di tribun. Mereka bernyanyi dan pesta dini. Merayakan gol tersebut sekaligus mengejek barisan keamanan yang lengah memeriksa mereka.

Tapi siapa sangka, gol tadi malah melecut semangat Uruguay. Mereka berbalik menguasai jalannya laga dan membuat pertahanan Brasil kocar-kacir. Tepat di menit ke-66, Juan Alberto Schiaffino, yang lepas dari sisi kanan mampu menyamakan kedudukan dengan menaklukkan kiper Brasil, Moacir Barbosa. Skor Brasil 1-1 Uruguay.

Momen gol Schiffiano tadi ini belum mampu membungkam Brasil, sebab selecao hanya membutuhkan hasil seri untuk juara. Tapi, Uruguay punya pegangan usai gol tersebut, yaitu kelemahan di sisi kiri pertahanan Brasil.

Memasuki menit ke-79, giliran Alcides Edgardo Ghiggia yang lepas di sisi kanan. Pertahanan Brasil memang buruk di sisi ini. Ghiggia kembali mengulangi apa yang dilakukan Schiaffino, mengarahkan bola ke sisi kiri Barbosa.

"Gooool untuk Uruguay!... Gol untuk Uruguay?" teriak Luiz Mendes, penyiar radio Globo Brasil dalam siaran langsungnya kala itu. Dua kalimat sama tapi dengan intonasi berbeda. Yang pertama berseru, sementara yang kedua sedikit bertanya dan tak percaya karena Uruguay mampu berbalik memimpin 2-1.

Pertandingan tersisa 10 menit, wajah-wajah pendukung Brasil di Maracana berubah menjadi was-was. Kepalan jari tangan dan tinju ke udara mereka mulai terbuka. Jemari berubah fungsi dalam sekejap. Menutupi raut muka cemas, menopang dagu, dibiarkan digigit-gigit pelan seraya tersenyum getir.

Peluit panjang kemudian ditiup George Reader dan kedua tim sama-sama menangis. Tapi tangis bahagia menjadi milik Uruguay, sementara Brasil tangis duka. Senja juara yang dinantikan berubah menjadi senja pilu. Senja yang kelam menuju gelap, sama persis dengan suasana hati pendukung Brasil di Maracana.

Maracazano (Bagian 2): Ketika Selecao Berduka Seumur Hidup

Getty Images
[Ini adalah lanjutan dari tulisan ini: Sebuah Tragedi di Tanah Brasil]


Seusai kekalahan dari Uruguay, stadion yang digadang-gadang menjadi gereja sepakbola dunia itu sunyi. Teriakan kegembiraan Uruguay tak terdengar meski seisi stadion senyap karena tangis duka. "Kesunyian yang menyesakkan," ujar Julies Rimet menggambarkan suasana Maracana usai laga itu.

Sang presiden FIFA kala itu sigap dan bijak. Ia enggan menyakiti Brasil yang sudah terluka. Rimet memang menyerahkan trofi Piala Dunia ke Uruguay, tapi tanpa podium dan seremoni pengalungan medali. Bahkan tak ada panitia dalam prosesi itu sehingga Rimet sendiri yang harus memanggil Varela. Tropi pun diberikan Rimet kepada Varela dengan kesan sembunyi-sembunyi.

Julius Rimet juga membatalkan sesi pidato sebelum pemberian trofi. Pidato berbahasa Portugal, yang sudah ia siapkan untuk kemenangan Brasil, itu sama nasibnya dengan ke-22 medali yang terukir nama pemain Selecao. Tak pernah disampaikan hingga kini.

Tangis di Maracana kian tragis usai Uruguay menerima trofi. Dua orang ditemukan tewas bunuh diri dengan meloncat dari atas tribun yang penuh sesak. Tiga orang yang meninggal karena serangan jantung. Petugas medis stadion mencatat ada 165 orang yang mereka rawat. Sebagian besar dari mereka pingsan karena histeris dengan kekalahan menyakitkan. Yang jatuh karena berdesakan di stadion tercatat hanya enam dan langsung dilarikan ke rumah sakit.

Duka itu ternyata berkepanjangan bagi rakyat Brasil. Laga itu pun menjadi tragedi yang teramat sulit diterima secara kolektif. Maka, untuk meredakan kemarahan dan kesedihan tersebut, perlu ada kambing hitam yang bisa dikorbankan. Kiranya mesti amarah di dada jutaan penduduk Brasil itu diarahkan pada satu hal: para pemain.

Tak heran setelah Piala Dunia itu pemain-pemain Selecao dikucilkan, sementara para pemain utama akhirnya pensiun diam-diam dari sepakbola.

Sepanjang sejarah sepakbolanya, Brasil sebenarnya sering kali mengalami kekalahan yang berbekas. Salah satu kuat terbaiknya sepanjang masa dikalahkan oleh Italia pada Piala Dunia 1982. Sementara pada final 1998 Il Phenomeno jatuh dan terkena penyakit yang aneh. Demikian pula dengan kekalahan menyesakkan dari Belanda pada 1974 atau pada 1990 dari rival terberatnya, Argentina.

Namun memang tak ada yang mampu menyamai skala kepedihan yang ditimbulkan oleh Maracazano. Saking pilunya duka yang ditanggung oleh rakyat Brasil, bahkan sang pencetak gol kemenangan Uruguay, Ghiggia, pun bersedih untuk rakyat Brasil. "Saya memang senang mencetak gol. Tapi, ketika melihat ke tribun-tribun stadion, saya melihat orang-orang menangis tidak terkontrol. Saya tidak bisa tidak merasa sedih," ujar Ghiggia.

Federasi sepakbola Brasil, CBF, yang masih marah membuat beberapa aturan baru. Peraturan yang sebenarnya bertujuan untuk melupakan aib itu. Warna putih-putih dihilangkan dari jersey mereka dan digantikan oleh kuning-biru.

Kiper berkulit hitam dilarang menjadi penjaga gawang tim nasional. Pemain-pemain yang pernah turun, meski hanya sebagai pemain pengganti beberapa menit, dilarang membela tim nasional di Piala Dunia. Mereka yang masih dianggap bertaji seperti Ademir dan Zizinho, hanya boleh membela Timnas di level Copa America.

Dari seluruh skuat Brasil 1950, hanya terpilih dua pemain muda ke Piala Dunia berikutnya, yakni pemain muda Nilton Santos and Carlos Jose Castilho. Itu pun karena mereka tak pernah bermain sekalipun di turnamen tragis itu. Tapi keduanya tetap dianggap punya dosa lama. Santos dan Castilho tak diberi medali Piala Dunia 1958 dan 1962. Meski keduanya jelas-jelas ikut turun di dua edisi tersebut.



Butuh berpuluh-puluh tahun bagi rakyat Brasil dan CBF untuk berinstropeksi. Mereka mulai sadar dan memaklumi luka tersebut setelah di tahun 2006 resmi ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2014. Mereka mengakui aib itu tak semata karena pemain tapi pengurus dan petinggi CBF untuk Piala Dunia 1950 juga sedikit banyak bisa disalahkan. Terutama karena permintaan mereka akan format kompetisi.

Kala itu penunjukkan tuan rumah Piala Dunia usai Perang Dunia Kedua membuat bargaining position Brasil tinggi di mata FIFA, sehingga CBF mengajukan format anyar. Mereka tak mau format turnamen di Piala Dunia 1934 dan 1938 digunakan kembali. Sebab dua Piala Dunia sebelumnya, yang menganut fase knock out, hanya menghasilkan total 16 pertandingan. Itu pun sudah menghitung partai final.

Format yang diajukan Brasil adalah 16 tim dibagi ke dalam empat grup di babak penyisihan. Selanjutnya, juara grup diadu lagi dan saling bertemu di putaran final. Tak ada fase knock out.Pemimpin klasemen dari putaran final-lah yang akan menjadi juara.

Julies Rimet awalnya menolak karena permintaan tersebut didasari strategi bisnis dan pengeruk keuntungan semata. Jumlah pertandingan yang lebih banyak memang akan berbanding lurus dengan tiket yang terjual. Namun ia dan FIFA terpaksa mengabulkan permintaan itu karena CBF mengancam akan mundur sebagai tuan rumah Piala Dunia.

Permintaan itu disadari oleh pengurus CBF dan Brasil sekarang sebagai kesalahan. Kekalahan Brasil dari Uruguay tak lepas dari terkurasnya stamina mereka yang merupakan imbas dari sistem round robin usai penyisihan. Memang, faktanya sebelum di laga pamungkas, Brasil bertanding dua kali lebih banyak ketimbang sang lawan.

Kini, beberapa usaha untuk mengobati luka dan memulihkan nama baik pemain yang pernah dicaci terus dilancarkan CBF dan Brasil. Yang paling menarik adalah 2007 lalu, atau tepat setahun usai mereka ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. CBF memberikan medali anumerta kepada Nilton Santos dan Carlos Castilho sebagai pengganti medali Piala Dunia 1958 dan 1962.

Tapi, sejauh apapun usaha Brasil itu, Maracazano memang sulit untuk dilupakan. Yang bisa dilakukan Brasil saat ini adalah menahan ekspektasi tinggi seperti sebelum final 1950. Itu jika memang mereka tak ingin mendapatkan luka yang sama.


Maracanazo (Bagian 3): Hukuman Brasil untuk Ademir Sang Legenda

ist.
[Ini adalah lanjutan dari tulisan ini: Ketika Selecao Berduka Seumur Hidup]


Brasil, katanya, adalah negara tempat sepakbola indah dipuja. Tanah yang melahirkan seniman-seniman lapangan hijau yang mengajarkan jogo bonito. Tapi, di balik kemeriahan tarian dalam sepakbola itu, jarang ada yang mengingat bagaimana Brasil bisa sedemikian dinginnya menghukum salah satu legendanya sendiri, Ademir de Menezes Marques.

Jika Anda mengerenyitkan dahi ketika mendengar nama Ademir, itu karena amat jarang yang tahu ataupun membahas sosoknya. Nama Ademir tenggelam di antara Pele, Garrincha, Zico, Socrates, duo Romario-Bebeto, atau sang il phenomeno Ronaldo yang acap kali disebut dalam pembicaraan tentang sepakbola Brasil. 

Sedikitnya pembahasan mengenai Ademir memang dapat dimaklumi. Bukan karena ia terlalu lampau untuk dingat-ingat, tapi lebih karena nama Ademir ada di antara batas terlupakan dan dilupakan. 

Memang, Ademir, dan segenap skuat Selecao 1950 yang gagal merebut piala dunia di hadapan rakyat Brasil, sejarah dan kiprahnya dikebiri oleh negaranya sendiri. Sebab, gagal menjadi juara di tanah sendiri kala itu adalah aib besar. Bak national disaster yang kemudian menjadi trauma negara. Mengendap di alam bawah sadar dan marah hebat kala diungkit kembali, terutama kala Uruguay memplesetkannnya menjadi Maracanazo.

Rakyat Brasil memang kecewa besar dengan tim nasionalnya saat itu. Maracana yang dibangun dengan misi menjadi gereja sepakbola di muka bumi malah menjadi kuburan kesedihan masal gegara ulah tim nasional.

Bunyi meriah genderang karnaval yang terdengar selama sebulan di sudut-sudut stadion, menjadi sunyi di 16 Juli 1950. Maracana yang digadang-gadang terbesar di planet bumi, seolah menciut. Sesak di dada rakyat Brasil kala itu bahkan melebihi sesaknya over capacity 50% lebih dari kapasitas stadion. 

Mereka kecewa, Brasil gagal menjadi juara karena kalah 1-2 dari Uruguay.

Headline koran pun berbalik drastis dalam sehari. Sebelumnya kata-kata heroik seperti "Kita akan kalahkan Uruguay!", yang ditulis Gazeta Esportiva Sao Paul, atau "Inilah Juara Piala Dunia", yang dipasang oleh Rio’s O Mundo, menjadi standar pemberitaan media. Tapi ini berubah 180 derajat keesokan harinya. 

"Ini Hiroshima Kami!", "Tragedi Terbesar Dalam Sejarah Brasil" dan sejenisnya lah yang terpampang di tajuk utama.

Kekalahan dan kekecewaan itu kemudian berbuntut pengebirian skuat Brasil 1950. Tak ada satu pun yang dipanggil lagi membela tim nasional untuk Piala Dunia selanjutnya. Sejauh apapun kiprah para pemain pada level klub, mereka tak akan bisa menjadi headline koran setempat. Nama Ademir dan teman-temannya hanya akan mengingatkan luka lama, sehingga perlu dilupakan.

Masyarakat Brasil pun merasa perlu untuk mengingatkan kesedihan itu secara langsung pada segenap skuat Selecao. Dalam satu kesempatan, Ademir dan beberapa rekan-rekannya berjalan di pusat pertokoan. Seorang ibu berjalan bersama anaknya berpapasan dengan mereka. "Lihat, mereka itu yang membuat seluruh Brasil menangis," ketus wanita itu sambil menunjuk Ademir.

Ademir yang harusnya menjadi legenda juga dianggap tak pernah ada. Sepak terjang mentereng Ademir di Piala Dunia 1950 tak pernah dibahas. Brace yang dicetaknya pada laga perdana ke gawang Meksiko tak pernah menjadi cerita. Quattrick-nya ke gawang Swedia di final round juga berlalu begitu saja. 



Julukan 'Queixada' (Si Hiu) bagi Ademir –muncul karena teriakan gol Ademir membuat tulang rahangnya terlihat seperti Hiu yang akan menerkam-- tak pernah disebut lagi. Kesuksesan menjadi top skor dengan delapan gol, yang jelas-jelas satu gol lebih banyak dari top skor Brasil di Piala Dunia 1938, Leonidas, tak dianggap.

Kekalahan 1-2 itupun disikapi rakyat Brasil dengan naif. Mereka tak memerdulikan faktor-faktor lain dari kekalahan tersebut. Bagi mereka, kalah ya kalah. Apapun alasannya, bagaimanapun caranya. Padahal, jumlah pertandingan Brasil sebelum final lebih banyak dan cukup menguras stamina. Sementara itu Uruguay hanya melakoni tiga partai. La Celeste diuntungkan dengan mundurnya Prancis sehingga mereka hanya bertanding sekali saja pada babak penyisihan. Sementara Brasil harus berjibaku pada lima partai sebelum ke final. 

Kekecewaan mendalam Brasil akan para seniman bolanya ini mungkin karena mereka terlalu berharap tinggi. Brasil kala itu ingin sekali mencicipi Piala Dunia yang pertama kalinya. Apalagi sebelum piala dunia Ademir dan Seleccao 1950 tampil begitu perkasa. Mereka bermain di kandang sendiri dengan modal gelar juara Copa America setahun sebelumnya. Kedigdayaan Samba pada babak penyisihan dilanjutkan di final round dengan menang besar atas Swedia (7-1) dan Spanyol (6-1). 

Rakyat Brasil pun kian terbuai harapan dengan fakta kalau timnya hanya butuh hasil imbang dari Uruguay untuk menjadi juara Piala Dunia pertama kalinya. Tapi, rakyat Brasil tak pernah sadar bahwa ekspektasi pada Seleccao-nya terlalu ‘sundul langit’. Dan, itu menyakitkan kala akhirnya “Si Biru Langit” lah yang menjatuhkan mereka dari ketinggian. Jatuh jauh dari prediksi yang diharapkan.

Sampai Akhir Hayat

Seiring waktu berjalan, nama Ademir pun bergeser dari yang sengaja dilupakan menjadi sedikit manusiawi; terlupakan. Adalah Pele dan Garrincha yang membuat nama Ademir menjadi terlupakan. Luka rakyat Brasil selama delapan tahun terobati berkat keduanya. Gocekan Pele dan Garrincha mengantarkan gelar Piala Dunia 1958 dan 1962, dan nama Ademir dkk tenggelam dalam kesuksesan itu.

Keperkasaan Brasil di sepakbola pun lambat laun berbanding lurus dengan terlupakannya Ademir. Pele lah yang kemudian disebut selalu, legenda nomor satu dan role model dari para calon bintang sepakbola Brasil. Tengok saja Zico yang kemudian melegenda dan digelari Pele Putih.
 
Ya, Zico kemudian menjadi legenda, sementara Ademir tidak. Padahal kalau ukurannya adalah torehan prestasi, Zico tak lebih baik dari Ademir. Kalau Ademir hanya sekali gagal, si Pele Putih malah nirgelar bersama Seleccao di tiga edisi Piala Dunia. 

Namun, legenda tetaplah legenda. Sejarah tentangnya akan tetap ada, seberapun Brasil ingin menghapus namanya. Begitu juga dengan Si Hiu satu ini.

Semenjak 2006 lalu, atau tepatnya usai Brasil ditunjuk menjadi tuan rumah kembali, nama Ademir dan rekan-rekannya mulai muncul kembali ke permukaan. Beberapa dokumentarian mencoba menggali lebih dalam tentang skuat gagal ini. Salah satunya film dokumenter khusus tentang Ademir, Um Artilheiro No Meu Coracao (Sang Top Skor di Hatiku). Film ini sempat diputar di Brazilian Film Festival of London, Oktober 2013 lalu.



Maksud dokumentarian Brasil untuk menggali kembali sejarah sepakbolanya kali ini cukup bijak. Mereka hanya ingin rakyat Brasil belajar dari kekalahan dan kegagalan, dan tidak lagi membebankan ekspektasi berlebihan yang dipasang pada Seleccao di 2014 ini. Mereka tak ingin Neymar cs harus dilupakan atau terlupakan seperti Ademir. 

Maracanazo (Bagian 4): Kisah Sedih Kiper Tersial Sepanjang Masa

ist.
[Ini adalah lanjutan dari tulisan: Hukuman Brasil untuk Ademir Sang Legenda]



Hanya butuh beberapa detik untuk membuat dua orang bunuh diri dengan meloncat dari atas tribun. Hanya butuh beberapa detik untuk membuat jutaan orang warga Brazil menangis. Hanya butuh beberapa detik bencana yang semirip nuklir 'Hiroshima' meledak di Rio De Janeiro. Dan hanya butuh seorang Moacir Barbosa untuk melakukan semua itu. 

Tanggal 16 Juli 1950, sore cerah di langit Rio De Janeriro, tetapi suasana malah sunyi dan senyap. Hiruk pikuk manusia rehat untuk sejenak. Sebanyak 200.000 ribu orang silih berdesakan terfokus melihat 22 pemain bertarung di rumput hijau Maracana. Jutaan sisanya asyik menyimak pertandingan lewat radio, ya walaupun hanya lewat audio mereka tetap khusyuk menyibak khotbah dari gereja Maracana.

Angka jam di stadion menunjukan 16:33. Pada menit itulah bencana tercipta. Petaka yang berulang, karena 15 menit sebelumnya petaka pertama terjadi. Petaka yang dilakukan oleh dua orang berbeda - Juan Alberto Schiaffino dan Alcides Ghiggia. Petaka pertama dilakukan Schiaffino di menit 66. Petaka kedua dilanjut Ghiggia di menit 79.
 
Roberto Muylaert, penulis biografi Moacir Barbosa dalam buku berjudul 'Um Gol Faz Cinquenta Anos', membandingkan rekaman video di laga penentuan itu dengan rekaman saat Presiden John F Kennedy ditembak Lewis Old Haswey. "Pola dramatis yang sama, gerakan yang sama, presisi yang sama dengan lintasan yang tak terbendung," tulisnya dengan nada yang plastis.
 
Dan yang pasti jika tembakan Lee Harvey Oswald membuat rakyat Amerika bersedih hati, maka tembakan yang dilakukan Ghiggia kepada Barbosa bagi masyarakat Brazil pun sama rasanya.

Sekilas jika kita memperhatikan tayangan di Youtube, apa yang dikatakan Muylaert ini benar adanya. Dua kali gol yang bersarang di gawang Barbosa terjadi lewat pola yang sama. Lawan menggiring bola ke sisi kanan. 

Di posisi yang sama pula, mereka melepaskan tembakan ke arah sudut yang sama. Gol pertama sulit ditepis karena bola yang ditendang lewat tendangan voli mengarah sudut pojok atas. Dan gol kedua, Barbosa sebenarnya bisa berhasil mengantisipasinya. Tapi ia gagal. Keteguhannya untuk tak memakai sarung tangan malah membuat hidupnya terbayang-bayang mimpi buruk hingga matinya.



Brazil tumbang oleh Uruguay, pada partai final Piala Dunia 1950, di kandang sendiri, di Stadion Maracana yang agung dan beraura itu.

Kiper Berkulit Hitam Sebagai Kambing Hitam.

Pascagol Ghiggia, Barbosa hanya tengkurap tak berdaya di depan gawang. Teman-temannya tak ada yang berusaha menghibur atau memberikan semangat kepadanya. Dari sanalah awal mula dari penderitaan Barbosa. Maracana membara oleh amukan dendam dan rasa kekecewaan. Dan perlu kambing hitam untuk melampiaskan semua itu. Lantas jika bukan kiper siapa lagi?

Kejayaan Brazil bertumpu pada kebencian orang kepadanya. Karena itu juga Mario Zagallo mengusirnya saat ia berkunjung ke kamp pelatihan timnas di tahun 1994. Barbosa bak seperti jadi memedi bagi para kiper-kiper di Brazil. "Berlatih yang keras hingga engkau kelak jadi seperti Gilmar Dos Santos, jika tidak maka nasibmu akan seperti Moacir Barbosa," nasihat yang kerap diberikan kepada kiper-kiper muda. 

David Pastorin dalam buku 'L’ultima Parata di Moyacy Barbosa' berujar bahwa Brazil amat dekat dengan hal berbau klenik. Untuk membuang sial di Piala Dunia mereka butuh kambing berbulu hitam yang mesti dikorbankan di altar persembahan. Malangnya, Barbosa yang memang berkulit hitam memenuhi kriteria masyarakat Brazil akan hal klenik itu. Kambing hitam yang berkulit hitam.

Barbosa yang membuat nada rasial tumbuh dan dilestarikan secara berpuluh-puluh tahun di dalam timnas Brazil. Semua kiper utama timnas Brazil yang membawa trofi Piala Dunia tak ada yang berkulit hitam: Taffarel (Piala Dunia 1994), Marcos (Piala Dunia 2002), Felix (Piala Dunia 1970) dan Gilmar (Piala Dunia 1958 dan 1962). 

Hal ini disinggung Richard Giulianotti dalam buku berjudul 'Football: A Sociology of the Global Game'. Ia mengatakan Barbosa sebenarnya hanya alasan kaum elit kulit putih untuk menghambat dominasi pemain berkulit hitam dalam sepakbola Brazil. Bagi kaum elit kulit putih, seorang kiper biasanya memiliki karakteristik 'kecerdasan' dan 'rasionalitas' dibandingkan para pemain di posisi lainnya.
 
Jika para striker, gelandang atau bahkan bek di Brazil punya skill menggiurkan untuk bermain secara individual, dengan emosi yang penuh, dengan kegembiraan yang alami, maka seorang kiper tak boleh begitu. Dia harus dingin, kalem, bermain dengan tenang, dan sepenuhnya dikendalikan oleh rasio. Dan semua kriteria itu ingin disinonimkan dengan kualitas kulit putih. Karena itu, pada tim nasional, posisi kiper mutlak mesti di pegang oleh kulit putih.

Permintaan Dida yang Tak Pernah Terkabulkan

Butuh waktu hampir setengah abad untuk mendobrak ketabuan ini. Adalah Nelson Dida yang memulainya saat Brazil melawan Equador tahun 1995. Harian Olahraga terbesar di Brazil Globo Esporte bahkan sampai menulis judul headline "Dida, O Homem Que o Quebrou Tabu" [Dida, orang yang melanggar tabu]. 

Dalam berita tersebut Dida meminta warga negara Brazil memaafkan apa yang dilakukan Barbosa. "Ini adalah saat untuk memecahkan tabu yang telah ada selama 50 tahun, Barbosa melakukan banyak hal untuk tim Brazil tapi kemudian ia ditumbalkan setelah pertandingan Maracanzo itu. Ini mengerikan. Kita harus memaafkannya," pintanya.
 
Permintaan Dida ini dianggap bak angin lalu. Tak pernah ada ucapan meminta maaf atau pemaafan kepada Barbosa dari siapapun. Pihak CBF (Asosiasi Sepakbola Brasil) tetap bisu. Mereka bahkan enggan hadir di pemakaman Barbosa saat dia dikebumikan.



Beberapa bulan sebelum ajal menjemput, Barbosa mengaku sedih karena orang tak pernah lupa dengan kejadian memalukan itu. "Orang lupa bahwa pada Piala Dunia 1974 dan 1978 kita dihina amat buruk. Dan bagaimana rasa malu itu bertambah saat dikalahkan Prancis di Piala Dunia 1998. Tetapi kenapa orang-orang tak pernah lupa dan lebih suka berbicara tentang 1950?" keluhnya.

Ya, sampai kematiannya, Barbosa harus terus menelan kepahitan. Dan kepahitan serta penghinaan itu harus juga dibawanya sampai liang lahat. Dalam kehinaannya itu ia berusaha mengabaikan cercaan orang. Barbosa memposisikan dirinya sebagai korban ketidakadilan, tapi ia juga tetap mencoba untuk melanjutkan hidupnya. Usai tragedi itu, karir sepakbolanya nyaris tak pernah kembali menorehkan tinta keemasaan. Ia hidup luntang-lantung sebagai kaum papa.

Kehidupan parianya terkenal paling menyedihkan dibandingkan pemain angkatan Maracanazo lainnya. Terlepas dari semua cobaan dan kesengsaraan, Barbosa sangat dihormati oleh orang-orang yang mengenalnya. Dia adalah pria yang sopan murah senyum, memiliki kepribadian yang ceria dan rasa humor yang baik. 

Dia juga orang yang penuh kasih. Di masa tuanya itu, dia tak lelah mengumpulkan kaleng bir kosong untuk dijual dan hasil uang itu dia sumbangkan kepada sebuah organisasi amal yang memberikan kursi roda bagi orang cacat.

Kematian Tak Menghentikan Dendam

7 April 2000, Barbosa menghembuskan nafas terakhirnya karena serangan jantung. Ada yang bilang patah hatilah yang membuat ia mati terkapar. Barbosa yang malang. 

"Dia tidak memiliki kedamaian selama hidupnya, tidak juga dimiliki setelah kematiannya," ucap seorang reporter televisi membuka acara. Sebuah berita heboh muncul di Majalah sepakbola Placar, Dewan Kota São Vicente mengancam akan membongkar makam Barbosa jika pihak keluarga tak membayar biaya perawatan makam senilai 160 US Dollar.
 
Mereka lupa bahwa Barbosa hidup sebatang kara, dia hanya memiliki satu anak adopsi yang kehidupan ekonominya tak beda jauh dengan sang ayah angkat. "[Dewan kota] menelepon saya mengatakan bahwa mereka membutuhkan 160 US Dollar, tapi saya tidak mampu untuk membayarnya. Saya adalah pengangguran. Kenapa mereka tidak begitu menghargai Idola? Di sisi lain warga Jepang jauh-jauh datang menziarahi makamnya," ucap Teresa Barbosa kepada Placar.

Sejatinya CBF bisa saja ikut turun tangan akan masalah ini. Apalah arti uang 160 Dollar bagi CBF jika mereka mampu meraup puluhan juta dollar dari sepakbola. Tapi mereka enggan. Keengganan itu bukti kebencian kepada Barbosa tetap dipupuk walaupun dia telah tiada.

"30 tahun adalah hukuman penjara paling lama di Brasil. Tapi saya seperti dipenjara selama 50 tahun," itulah kutipan kepedihan terkenal dari seorang Moacir Barbosa. 

Maracanazo (Bagian 5): Dewa yang Meruntuhkan Maracana

ist.
[Ini adalah lanjutan dari tulisan: Kisah Sedih Kiper Tersial Sepanjang Masa]


Membiarkan yang lain berada di depan saat merayakan kemenangan, tapi menjadi yang terdepan saat marabahaya datang. Maka, orang lain akan menghargai engkau sebagai seorang pemimpin. –Nelson Mandela.

Mengalahkan Brasil di depan 200 ribu pendukungnya sendiri bisa jadi kemustahilan. Maka, jika ingin mematahkan ketidakmungkinan itu, perlu ada satu sosok spesial seperti Obdulio Varela. Satu sosok yang sangat pas jika digambarkan dengan ucapan Mandela di atas.
 
Varela adalah kapten sekaligus pahlawan Uruguay. Meski nama Juan Alberto Schiaffino dan Alcides Edgardo Ghiggia yang tercatat dalam sejarah sebagai pencetak gol ke gawang Brasil, tapi kontribusi Varela sendiri tidak dapat dilupakan sampai kapan pun.

Sebagai half back, atau poros halang (defensive midfielder), Varela memang memasang badan paling depan dalam memutus serangan dan bahaya dari lawan. Tapi bukan hanya karena kemampuannya itu ia menjadi legenda. 

Varela merupakan sosok kapten yang disegani rekan-rekannya di La Celeste. Bukan karena ia yang paling tua dengan usianya yang 33 tahun ketika itu. Tapi ia memang memiliki jiwa kepemimpinan yang paling tinggi di antara skuat Uruguay lainnya. Diakui oleh salah satu rekan setimnya, bahwa Varela sendiri dipanggil “sir” oleh teman-temannya dan bukan menggunakan panggilan informal. 

Pelatih La Celeste kala itu, Juan López Fontana, pun lebih memilih pemain kelahiran Montevideo 20 September 1917 itu untuk mengenakan ban kapten ketimbang kiper Roque Maspoli yang lebih muda sebulan darinya.

Cerdas serta mampu jadi motivator ulung adalah nilai-nilai plus yang menjadikan Varela seorang pemimpin sejati. Di dalam atau di luar lapangan, Varela sangat dihormati rekan-rekannya. Di ruang ganti pun, suara Varela lebih didengar ketimbang instruksi dari Fontana sendiri. Lihat saja bagaimana aksi Varela sebelum laga final round Piala dunia 1950, sekaligus pertandingan penentuan juara, di Stadion Maracana. Sebelum pertandingan, gegap gempita suporter Brasil di stadion membuat nyali pemain Uruguay menciut. Namun, dengan tenang Varela mengeluarkan trik cerdik untuk mengangkat kembali mental rekan-rekannya.



Sedari pagi, Varela telah memborong harian lokal Brasil, O Mundo, yang di halaman depannya terpampang foto skuat Brasil dengan tulisan “Ini Juara Dunia”. Koran itu pun lalu dibagi-bagikan Varella pada rekan-rekannya. Varela kemudian meminta mereka untuk menghamparkan halaman utama O Mundo itu di lantai kamar mandi tim tamu di Maracana. “Kalian kencingnya di sini!” ujar Varela sambil menunjuk foto skuat Brasil.

Skuat Uruguay yang semula diliputi kekalutan pun berubah menjadi riang dan penuh tawa. Mental mereka kembali terangkat karena trik cerdik sang kapten tersebut.

Aksi cerdas Varela di ruang ganti tak terhenti di situ saja.
 
Beberapa saat sebelum kick-off, Fontana memberi instruksi terkait strategi melawan Brasil. Sang pelatih meminta anak asuhnya bertahan total dari gempuran serangan pemain tuan rumah nanti, dan sesekali membalas melalui serangan balik.

Varela yang tidak setuju dengan instruksi tersebut tetap menunjukkan sikap bijak. Ia tidak serta merta menolak saran pelatih di depan anak asuhnya. Sang kapten tetap mengiyakan saran dari sang pelatih seraya meminta ijin untuk memotivasi rekan-rekannya sebelum keluar dari kamar ganti. Tapi ia memberikan syarat; tak boleh ada sang pelatih, hanya untuk pemain.
 
Tahu apa yang dikatakan Varela pada rekan-rekannya setelah Fontana pergi?

"Juancio (Fontana) adalah pelatih yang hebat. Tetapi hari ini, ia salah. Jika kita bermain defensif melawan Brasil, nasib kita tak akan jauh beda dengan Spanyol atau di Swedia," tegas Varela pada rekan-rekannya. Satu orasi dan pemberontakan bijak terhadap instruksi pelatih.

Di luar ruang ganti, gemuruh pendukung Brasil di Maracana kian meninggi karena peluit panjang akan segera dibunyikan. Dan di sela-sela waktu menuju lapangan ini Varela sempat bercerita tentang pertemuannya dengan para petinggi federasi sepakbola Uruguay beberapa hari sebelumnya. Mereka berkata pada Varela bahwa apa yang dilakukan Varela dan teman-temannya mencapai babak final sudah cukup. Yang perlu dilakukan Uruguay di lapangan adalah bermain secukupnya dan tidak membuat onar. Bahwa Uruguay pun mesti bahagia jika hanya kalah dengan kebobolan tiga atau empat gol. 

Setelah bercerita, dengan tenang Varela memimpin rekan-rekannya keluar dengan kalimat motivasi yang akan selalu dikenang Uruguay hingga kini. 
"Teman-teman! Lupakan orang lain. Di atas lapangan hanya ada sebelas orang lawan sebelas. Mari kita mulai pertunjukkan ini!" tegas Varela.
 
Aksi heroik Varela di hari itu kemudian berlanjut dalam pertandingan. Ketika Brasil unggul 1-0 pada menit 47 melalui gol Friaca, sempat Varela mendatangi hakim garis untuk protes. Menurutnya, Friaca saat itu sudah berada dalam posisi offside sebelum berhadapan one on one dengan penjaga Uruguay, Roque Maspoli.

Tapi asisten wasit asal Inggris, Arthur Ellis bergeming. Begitu juga dengan wasit George Reader, yang juga datang dari Inggris, tak mau mengubah keputusannya. Varela bahkan sempat meminta seorang penerjemah untuk menyampaikan ucapannya pada sang wasit, meski akhirnya perdebatan Varela dengan jajaran pengadil di lapangan ini berakhir sia-sia.

Tapi –sebagaimana diakui dalam berbagai wawancara-- Varela bukan ingin mengubah keputusan wasit. Ketika ia menghampiri hakim garis, Varela sendiri sudah tahu bahwa argumennya sia-sia. Yang Varela inginkan adalah menunda pertandingan. Baginya, riuh sorak-sorai 200 ribu penonton yang merayakan gol Friaca mesti diredam. Apapun caranya. 

"Jika saat itu kami langsung memulai pertandingan, kami pasti dihancurkan Brasil," ujar Varela.

Seusai “menghentikan” suara suporter Brasil, dengan langkah tegap, Varela membawa bola ke tengah lapangan. Ia berbalik menghadap rekan-rekannya dan berteriak, “kini waktunya untuk menang!” 

Teriakan itu terbukti ajaib. Dalam kurun waktu setengah jam saja, Uruguay mampu mendapatkan kemenangan melalui dua gol yang dicetak Juan Schiaffino di menit ke-66 dan Alcides Ghiggia pada menit ke-79. Bukan hanya membawa Uruguay juara, dua gol itu menjadi tragedi dan bencana nasional terbesar Brasil di Maracana.

Namun, menang di tanah Brasil mesti dibayar Uruguay dengan juara tanpa pesta. Tak ada seremonial penyerahan medali dan penyerahan trofi, meski mereka mengangkat trofi Piala Dunia. Varela, yang saat itu terpilih sebagai man of the match, mahfum. Karena ia dan timnya menjadi juara di gereja suci sang lawan. Sang kapten tak protes atau memaksa kepada panitia dan FIFA untuk diselenggarakan seremonial tersebut.



Presiden FIFA, Julies Rimet, pun bersimpati padanya. Ia mengajak Varela masuk ke salah satu ruangan stadion dan menitipkan medali Piala Dunia untuk Uruguay pada sang kapten.

Dari total enam laga yang dimainkan Uruguay di Piala Dunia 1950 itu, Varela memang hanya mencetak satu buah gol. Tapi satu-satunya gol yang ia cetak adalah gol penting penyelamat Uruguay dari kekalahan saat meladeni Spanyol. Poin pertama di final round itu pula lah yang membuat mereka memiliki peluang menjadi juara.

Varela, Uruguay dan Piala Dunia seolah sudah tertakdirkan sepaket. Faktanya, La Celeste tak pernah kalah jika diperkuat sang kapten sejati mereka itu. 

Di Piala Dunia 1954, Uruguay memang menelan kekalahan pertama mereka dan tersisih di semifinal. Namun saat ditekuk Hungaria 2-4 itu, Varela absen karena cedera yang didapatkannya di laga sebelumnya. Pertandingan perempat final ketika mengalahkan Inggris 4-2 pada 26 Juni di Basel menjadi caps terakhir Varela bersama tim nasionalnya.

Dikenal dengan panggilan El Jefe Negro (The Black Chief) karena kulit hitam dan kekuatan kepribadiannya, Varela kini seolah menjadi mitos di Uruguay. Ia dikuburkan melalui proses pemakaman dari negara dan dianggap sebagai kapten terbaik sepanjang masa. 



Kapten Uruguay saat ini, Diego Lugano, ketika ia bermain di klub Sao Paolo pernah ditanya oleh pers Brasil. Mereka bertanya apakah pada masa kecilnya Lugano pernah bermain-main menirukan Varela saat bermain bola. Lugano hanya menjawab: "Saya tidak pernah bermain-main dengan dewa".

SUMBER : SPORT.DETIK.COM

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads

Join our Team

Popular Posts