Video of the Day

ARTI FALSE NINE DALAM SEPAKBOLA

Selasa, 23 Januari 2018 0 komentar

False nine. Istilah ini sudah cukup akrab bagi para penonton dan pesepakbola. Meskipun begitu, masih banyak yang salah kaprah pada pengertian istilah tersebut. Banyak yang menyangka bahwa false nineadalah penyerang palsu di mana seorang gelandang yang ditempatkan sebagai penyerang.
Contohnya pada laga Persib Bandung menghadapi Bhayangkara FC akhir September lalu. Kala itu komentator pertandingan berulang kali menyebutkan bahwa Raphael Maitimo bermain sebagai false nine. Pemain berpaspor Indonesia itu bermain sebagai penyerang lantaran penyerang andalan Persib, Ezechiel Ndouassel, absen karena akumulasi kartu. Maitimo sendiri biasanya ditempatkan sebagai gelandang.
Anggapan Maitimo sebagai false nine sebenarnya kurang tepat. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya, gaya bermain Maitimo, dari cara bergerak dengan maupun tanpa bola, ia bermain seperti Ezechiel, seorang target manFalse nine memang tidak sesederhana pemain gelandang yang menempati pos penyerang.
False nine bukanlah posisi, melainkan peran (role). Maka untuk melihat peran, kita memang perlu melihat dari cara seorang pemain bermain. Singkatnya, peran pemain bukan tentang siapa yang memainkannya, tapi seperti apa ia bermain. Sementara ketika itu, Maitimo tidak mencerminkan permainan seorang false nine.
Pertanyaannya, memangnya seperti apa gaya bermain seorang false nine? Sejarah penggunaan false nine itu sendiri tampaknya akan cukup bisa menggambarkannya.
Awal Kemunculan False Nine
Peran false nine mungkin baru populer ketika Fabregas di timnas Spanyol atau Lionel Messi memainkannya di Barcelona. Tapi sebenarnya, peran ini sudah ada sejak 1930an. Adalah Danubian School di Austria yang pertama kali menggunakan false nine. Ketika itu, seperti yang ditulis Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: the history of football tactics,Danubian School yang dilatih Hugo Meisl menggunakan pola dasar 2-3-5 dengan penyerang tengah no.9 ditarik agak mundur dibanding empat penyerang lain yaitu penyerang no.7, 8, 10 dan 11.
Tak hanya di Austria dan Eropa Tengah lain, Wilson juga menuliskan bahwa River Plate pun saat itu menggunakan pola yang sama. Walau begitu, ia menegaskan bahwa Mathias Sindelaar dari Hungaria-lah yang sukses mempopulerkan peran false nine lewat permainannya yang meski penyerang, ia lebih sering berada di depan kotak penalti (drop deeper) dan menjadi pembagi bola serta pencipta ruang di lini pertahanan lawan.
Peran yang dimainkan Sindelaar tersebut dimainkan juga oleh penggawa timnas Hungaria 1950an, Nandor Hidegkuti. Melawan Inggris di Wembley pada 25 November 1953, ia menjadi momok pertahanan Inggris. Kemampuannya memudahkan Ferenc Puskas (10) dan Sandor Kocsis (8) serta Zoltan Czibor (11) dan Laszlo Budai (7) di kedua sayap. Walau begitu, peran false nine Hindegkuti tersebut tak mengurangi ketajamannya, di mana ia berhasil mencetak hattrick dalam kemenangan Hungaria dengan skor 6-3 tersebut.
"Dia [Hidegkuti] pemain hebat dan bisa membaca permainan dengan luar biasa," kata Puskas. "Dia sempurna untuk peran itu [false nine]; bermain di depan gelandang, membuat umpan berbahaya, menggiring pertahanan lawan untuk keluar dari bentuknya dan membuat aksi fantastis saat mencetak gol untuk dirinya sendiri."
Bermain mengenakan nomor punggung 9, saat itu siapapun akan menyangka jika Hidegkuti merupakan pemain yang akan banyak bergerak di kotak penalti, menyambut umpan-umpan silang, atau memanfaatkan umpan-umpan terobosan yang khas dengan penyerang no.9 klasik. Menurut Wilson, komentator pertandingan saat itu pun tertipu dengan nomor punggung pemain Hungaria dan cara bermain skuat asuhan Gusztav Sebes itu yang berbeda dengan kesebelasan kebanyakan. Dari situlah laga antara Hungaria vs Inggris ini disebut-sebut sebagai salah satu pertandingan yang merevolusi taktik sepakbola dunia.
"Anda sekalian pasti dibingungkan oleh beberapa nomor punggung pemain Hungaria," kata Kenneth Wolstenholme dalam Inverting the Pyramid. "Alasannya nomor punggung mereka, dengan pemain centre-half sebagai nomor 3 (biasanya 5), dan pemain bek sebagai nomor 2 dan 4 (biasanya 2 dan 3)." Saat itu, alih-alih bermain sebagai libero, nomor 5, Jozsef Bozsik, merupakan gelandang yang menyokong Hidegkuti sebagai false nine.
Namun skema itu tak selamanya digunakan oleh Hungaria. Bahkan setelah Hungaria beralih ke 4-2-4, yang saat itu dipopulerkan Brasil, Hidegkuti tidak lagi bermain sebagai false nine. Apalagi ketika itu Boszik semakin punya peran penting di sisi kanan Hungaria agar memudahkan Hidegkuti dalam mencetak gol.
False Nine Era Modern
Setelah sekian lama menghilang, peran false nine kembali muncul di Eropa pada 2006/2007. Adalah Luciano Spalletti yang saat itu menukangi AS Roma yang menggebrak persepakbolaan Eropa dengan false nine. Ia memainkan Francesco Totti yang biasanya bermain sebagai gelandang serang pengatur serangan menjadi penyerang dalam formasi dasar 4-1-4-1. Walau begitu, bentuk penyerangan Roma saat itu membuat mereka seperti bermain tanpa penyerang, karena Totti tetap bermain layaknya gelandang serang meski secara posisi ia ditempatkan menjadi penyerang tengah.
Perubahan ini dicoba Spalletti lantaran tumpulnya para penyerang tengah Roma. Apalagi musim tersebut Antonio Cassano baru hijrah ke Real Madrid. Mirko Vucinic penggantinya tak bisa berbuat banyak lantaran ia menderita cedera lutut sejak musim pertama ia bergabung. Vincenzo Montella tak setajam beberapa tahun sebelumnya. Begitu juga dengan Ahmed Hossam Mido dan Francesco Tavano.
Di sisi lain, 4-1-4-1 yang digunakan Spalletti dengan Totti sebagai false nine justru membuat ikon Roma tersebut panen gol. Ia mencetak 32 gol dalam satu musim, membuatnya meraih gelar top skor Serie A dan Sepatu Emas. Eksperimen Spalletti yang sebelumnya lebih sering menggunakan 4-2-3-1 sangat berhasil saat itu.
Skema 4-1-4-1 tanpa penyerang ini membuat Roma menyerang sangat cair (fluid) karena mereka tidak menyerang hanya lewat satu sisi. Dalam 4-1-4-1, Spalletti membaginya ke dalam dua grup, lima pemain bertahan, dan lima pemain menyerang. Lima pemain bertahan dipimpin oleh Daniele De Rossi, sementara lima pemain menyerang dipimpin oleh Totti. Dengan visi, kreasi dan teknik yang dimilikinya, Totti pun bisa membuat serangan Roma lebih dinamis dan menyerang lewat segala arah.

Saat serangan dari segala arah tersebut membuat lini pertahanan lawan kewalahan, Totti juga bisa mendapatkan ruang yang cukup ketika lini pertahanan lawan terfokus pada pemain lain (Mancini dan Rodrigo Taddei di kedua sayap, Simone Perrotta dan David Pizarro di tengah) yang memanfaatkan ruang hasil kreasi Totti. Dengan serangan seperti ini, tak hanya Totti yang mencetak banyak gol, Mancini dan Perrotta juga masing-masing berhasil mencetak 13 gol pada musim tersebut.
Totti yang semakin bertambah usia membuat keluwesannya bermain berkurang setiap musimnya. Spalletti pun coba mereplika sosok Totti dengan merekrut Julio Baptista dan Jeremy Menez, dua pemain yang bisa bermain sebagai gelandang serang maupun penyerang. Namun hasilnya nihil hingga Spalletti memutuskan mundur dari kursi kepelatihan Roma pada 2009.
Di saat era Spalletti berakhir bersama Roma, di tahun yang sama, sebelum itu, Pep Guardiola yang kala itu menjadi pelatih Barcelona membuat false nine seolah terlahir kembali pada laga akbar bertajuk El Clasico menghadapi Real Madrid. Ketika itu, ia memanfaatkan seorang pemuda berusia 21 tahun menjadi otak serangan Barca pada laga yang berakhir dengan skor 6-2 tersebut. Pemuda itu Lionel Messi.
Sehari sebelum pertandingan tersebut, seperti yang dikisahkan dalam otobiografi Pep yang berjudul "Herr Pep", Pep menelepon Messi pada pukul 10 malam untuk memberikan instruksi khusus padanya di laga El Clasico tersebut. "Leo, ini aku, Pep. Aku baru saja melihat sesuatu yang penting. Lebih baik kau datang ke sini sekarang. Sekarang, aku mohon," kata Pep dalam tulisannya.
Messi lantas datang ke kantor Pep. Pep kemudian menunjukkan rekaman pertandingan Real Madrid dan memberitahu area kosong yang nantinya akan menjadi area bermain Messi. Area tersebut terletak di antara dua bek tengah Madrid dan dua gelandang tengah Madrid karena kegemaran gelandang Madrid yang selalu melancarkan tekel agresif pada gelandang lawan. Messi diwajibkan berada di area tersebut untuk memancing salah satu di antara bek tengah Madrid, antara Cristoph Metzelder ataupun Fabio Cannavaro, untuk keluar dari pakem bermainnya. Pep menyebutnya dengan "Messi Zone".
Ketika pertandingan, Pep awalnya memainkan skema 4-3-3 seperti biasa. Messi ditempatkan di sayap kanan. Di tengah Samuel Eto`o, di kiri Thierry Henry. Namun pada menit ke-10, rencana Pep mulai dijalankan. Messi menempati "Messi Zone" sesuai yang diarahkan Pep malam sebelumnya. Meski terlihat seperti pertukaran biasa, pertukaran ini merupakan pertukaran tak biasa bagi Metzelder dan Cannavaro.
"Fabio [Cannavaro] dan aku saling memandang," kata Metzelder pada Marti Perarnau, penulis Herr Pep. "Kami seolah bertanya, `Apa yang akan kita lakukan? Apakah kita harus mengikutinya ke tengah atau menjaga kedalaman?`. Saat itu kami benar-benar tak memiliki petunjuk."
Cannavaro dan Metzelder kebingungan. Hingga akhirnya mereka kerap terpancing untuk menjaga Messi. Di situlah celah di lini pertahanan Madrid sering tercipta. Garis pertahanan Madrid tak seimbang. Umpan-umpan dan pergerakan Messi berhasil memorak-porandakan pertahanan Madrid dengan enam gol yang mereka ciptakan.
Messi sebelum (atas) dan sesudah (bawah) bermain sebagai false nine di laga Real Madrid vs Barcelona (2 Mei 2009).
Pada laga tersebut, selain mencetak asis, Messi juga mencetak dua gol. Dari sini Pep sudah melihat kemampuan Messi bermain di area antara gelandang bertahan dan bek tengah. Sejak saat itulah Messi bermain sebagai false nine, yang menjadi gaya permainan khasnya hingga saat ini.
Di Barcelona sendiri, tidak hanya Messi yang mengemban peran false nine. Cesc Fabregas pun sempat dicoba oleh Pep bermain sebagai false nine ketika ia kembali ke Barcelona pada 2011. Bahkan lewat peran ini, Spanyol asuhan Vicente del Bosque berani bermain dengan formasi dasar 4-6-0 pada Piala Eropa 2012 karena kemampuan Fabregas bermain sebagai false nine. Dari situlah false nine identik dengan seorang gelandang yang ditempatkan sebagai penyerang.
***
Dari cerita-cerita di atas, peran false nine memiliki beberapa kecenderungan. Seorang false nine tidak banyak bermain di area kotak penalti layaknya penyerang klasik. Seorang false nine bahkan tampak seperti seorang gelandang serang yang punya visi, daya jelajah, teknik (umpan maupun dribel) dan kreasi serangan yang tinggi. Maka dari itu tugasnya tidak hanya mencetak gol, ia juga harus menciptakan ruang bagi dirinya sendiri maupun rekan setim.
Sentuhan Messi saat bermain sebagai false nine vs Girona, mayoritas bermain di area antara bek tengah dan gelandang tengah.
Dengan tugas seperti ini, tak banyak memang pemain yang bisa bermain sebagai false nine. Selain Totti dan Messi, pemain yang dikenal mahir bermain sebagai false nine adalah Fabregas. Sekarang baru muncul Dries Mertens yang produktif bersama Napoli setelah diplot sebagai false nine oleh Maurizio Sarri karena penyerang mereka, Arkadiusz Milik, cedera panjang. Sarri bahkan menyebut false nine yang diperankan Mertens dengan falso nuevo.
Dalam penyebutan peran, kita memang tidak bisa hanya melihat posisinya saja, tapi juga bagaimana ia bermain. Apalagi untuk peran false nine, terbilang tidak sembarangan karena hanya sedikit pemain yang fasih memerankan peran ini.
Sumber : PANDITFOOTBALL.COM

BERSYUKUR

0 komentar

Bersyukur,kata yang gampang diucapkan namun sulit ketika prakteknya,banyak orang bilang bahwa dia bersyukur atas hidupmya yg sekarang dia jalani tapi banyak dari meraka yg menguccapkan kata bersyukur dibarengi dengan keluh kesah akan masalah dan apapun yang meraka bulem dapatkan,meraka tidak sadar,mengeuluh hanya akan membuat ucapan syukur dia selama ini hanya bernilai 0 dan yang akan membuat mereka jatuh kedalam kekufuran
ketika kita dilahirkan kedunia ini dengan sempurna fisik (tidak cacat),seharusnya sudah tidak ada lagi kata KURANG dalam hidup kita,sebelum kita mengeluh akan masalah hidup kita,tengok lah,kepada teman2 kita yg ada dibawah kita baik secara fisik ataupun harta,kalau kita merasa cukup dan dibarengi dengan kata syukur yang sebenarnya (tanpa ada kata keluh dan kesah),Allah akan tambah nikmatNya kepada kita dan Allah akan selalu menentramkan hati kita sehingga kita bisa menikmati hidup ini dengan penuh senyuman,dan jika kita masih terus mengeluh dan hanya bersyukur dimulut saja,Allah akan tambah keluh kesahmu dan kita takakan pernah bisa menkmati hidup dengan senyuman.

OLIVER KAHN

0 komentar


Tubuhnya tinggi dan besar, tapi ia begitu cekatan dalam melompat untuk menggagalkan peluang lawan. Ia tak pernah berhenti berteriak, dan kharismanya membuat lawan segan. Oliver Kahn adalah penjaga martabat Jerman di periode kemunduran sepakbola mereka.
Dalam gelaran Piala Dunia 1954, Gustav Sebes, pelatih Hongaria, memamerkan topi ajaibnya kepada seluruh penikmat sepakbola. Dari topi ajaib itu keluar manusia-manusia hebat seperti Ferenc Puskas, Nandor Hidegkuti, dan Sandor Kocsis. Sebes dan manusia-manusia hebat itu kemudian memperlihatkan cara bermain sepakbola yang memikat, menggoda, sekaligus mengundang decak kagum. Namun saat suara-suara penuh keyakinan yang mengatakan bahwa Hungaria akan menjadi juara Piala Dunia yang digelar di Swiss tersebut muncul ke atas permukaan, Jerman, yang sempat dihajar 3-8 oleh sihir Puskas dan kompatriotnya di babak penyisihan, justru berhasil keluar sebagai pemenang. Sempat tertinggal dua gol terlebih dahulu, secara heroik Jerman berhasil mengalahkan Hungaria 3-2 di partai final.  Miracle of Bern, cerita tentang kemangan Jerman tersebut, kemudian ditakdirkan untuk mengalahkan cerita tentang kejeniusan Sebes dan manusia-manusia hebat yang keluar dari dalam topi ajaibnya.
Dua dekade kemudian, tepatnya dalam gelaran Piala Dunia 1974, Jerman sekali lagi membuat orang-orang geleng-geleng kepala. Saat itu mereka berhasil mengalahkan Belanda, yang dengan gaya total football-nya sering mempermainkan musuh-musuhnya, dengan skor 2-1 di pertandingan final. Timnas Belanda 1974 tidak hanya pandai memainkan bola; mereka juga pandai memainkan ruang yang tak kasat mata. Seperti para filsuf, isi kepala Johan Cruyff dkk. juga susah dimengerti oleh lawan-lawannya. Dengan pendekatan seperti itu, timnas Belanda 1974 berhasil tampil mendekati kesempurnaan, sampai pada akhirnya Jerman berhasil membuktikan dogma dalam sepakbola bahwa bola itu bulat – apa pun bisa terjadi di dalam sepakbola.
Pasca gelaran Piala Dunia 1974 tersebut keajaiban-keajiban masih sering mengiringi perjalanan Jerman di dalam turnamen-turnamen besar. Ketika Paul Gascoigne, bintang Inggris yang digadang-gadang akan memporak-porandakan lini tengah Jerman di babak semifinal Piala Dunia 1990, menangis tersedu-sedu, sementara Jerman melaju dan untuk ketiga kalinya berhasil mengangkat tinggi-tinggi tropi Piala Dunia ke udara. Dan enam tahun setelah kejadian tersebut, tepatnya dalam gelaran Piala Eropa 1996 di Inggris, Jerman yang dihuni oleh pemain-pemain veteran juga berhasil keluar sebagai juara setelah mengalahkan Republik Cheska yang lebih difavoritkan.
Catatan-catatan sejarah Jerman yang seperti itu kemudian membuat mereka dianggap sebagai sebuah tim yang mempunyai mental juara. Seburuk apa pun penampilan Jerman di sebuah turnamen, nyaris tidak ada yang berani mencoret nama mereka sebagai salah satu kandidat kuat juara. Menyoal mentalitas juara yang dimiliki Jerman, Gary Lineker, legenda sepabola Inggris, bahkan pernah mengatakan, "Sepakbola adalah permainan sederhana. Dua puluh dua orang mengejar bola selama sembilan puluh menit, dan pada akhirnya Jerman akan keluar sebagai pemenang."

Meski demikian, pada kenyataannya, Jerman tak selalu seperti itu. Pasca menjadi yang terbaik dalam gelaran Piala Eropa 1996, Jerman seperti kehilangan kehebatannya. Orang-orang mulai lupa bahwa Jerman adalah tim spesialis turnamen ketika dihancurkan Kroasia, 0-3, pada babak perempat-final Piala Dunia 1998. Dua tahun setelahnya Jerman bahkan mengalami nasib yang lebih buruk. Dalam gelaran Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia, Jerman terpaksa pulang setelah babak penyisihan grup berakhir – kejadian yang kemudian menjadi awal revolusi besar dalam sepakbola Jerman.
"Dalam pergantian milenium sepakbola Jerman menghadapi bencana besar," tulis salah satu media Jerman.
Penampilan mengecewakan timnas Jerman kemudian membuat pemain-pemainnya diserang publik. Mereka dianggap tak pantas mengenakan seragam Jerman. Tradisi hebat Jerman di turnamen besar dirusak oleh ke-medioker-an mereka. Namun di antara banyaknya pemain yang mengenakan seragam Jerman pada masa suram tersebut, ada satu nama yang tetap dihormati dan dipuja publik sepakbola Jerman. Ia adalah Oliver Kahn. Julukannya Der Titan. Selain karena perawakan tubuhnya yang besar dan otot-otot tubuhnya yang menonjol layaknya Hulk, salah satu karakter ikonik Marvel, dia mendapatkan julukan seperti itu karena kehebatannya saat berdiri di depan mistar gawang.  

Tinggi, besar, dan galak. Tak salah jika Kahn dijuluki Der Titan atau sang raksasa.
Di saat pemain-pemain Jerman lainnya tampil lesu di atas lapangan, penampilan gila Kahn sering mendapatkan aplaus panjang. Bagaimana tidak gila, ketika bola yang melaju sekencang peluru menghantam wajahnya, perut, atau tangannya, dia akan mengatakan bahwa itu adalah hal cukup luar biasa untuk dirinya. Selain itu, menghantamkan tubuhnya ke kaki penyerang lawan adalah salah satu cara terbaik untuk untuk menjaga kesehatannya. Kemudian, dengan kegilaannya itu Kahn terus berusaha menjaga martabat timnas Jerman yang mempunyai sejarah besar. Meski tak pernah berhasil kembali membawa timnas Jerman ke puncak tertinggi, setidaknya, Kahn berhasil memberikan kepastian kepada publik sepakbola bahwa Jerman tetaplah salah satu kekuatan besar di peta sepakbola dunia.
Aksi brilian dan blunder yang jadi mimpi buruknya
Kahn memang menutup tahun 90-an dan membuka tahun 2000 dengan cara yang mengecawakan. Bersama Bayern Munich, Kahn gagal mengangkat trofi Liga Champions 1998/99 setelah kalah dari Manchester United pada menit-menit terakhir pertandingan final. Setahun setelahnya, dalam debutnya sebagai kiper utama timnas Jerman di turnamen besar, Kahn juga gagal menutupi penampilan buruk Jerman dalam gelaran Piala Eropa 2000 di Belanda dan Belgia. Namun Kahn kemudian tak membutuhkan banyak waktu untuk menunjukkan kebesarannya. Dalam gelaran Liga Champions 2000/01, Kahn berhasil membawa Bayern Munich menjadi juara setelah mengalakan Valencia di pertandingan final. Dalam pertandingan yang harus melewati drama adu penalti tersebut, Kahn berhasil menggagalkan tiga tendangan algojo Valencia. Dirinya kemudian dinobatkan menjadi pemain terbaik dalam pertandingan di San Siro, Milan, yang menegangkan tersebut. Dan satu tahun setelahnya, tepatnya dalam gelaran Piala Dunia 2002, Kahn juga berhasil membuktikan bahwa dirinya merupakan salah satu kiper terbaik di seantero jagad pada waktu itu.

Penyelamatannya di final Liga Champions 2001 memberikan Bayern Munich gelar juara
Berangkat ke Korea dan Jepang, tempat digelarnya Piala Dunia 2002, dengan skuat yang tidak meyakinkan, Jerman bukanlah unggulan dalam turnamen tersebut. Status tersebut memang tak salah. Setelah menghempaskan Arab Saudi 8-0 pada pertandingan pembuka, Jerman tampak kesulitan saat harus meladeni perlawanan militan dari Irlandia dan Kamerun. Dalam pertandingan tersebut, lini pertahanan Jerman serapuh donat. Seperti sebuah dari karma Perang Dunia kedua, penyerang-penyerang Irlandia dan Kamerun secara leluasa mampu menghujani gawang Jerman dengan tembakan-tembakan mematikan. Dan pada saat itulah, Kahn berhasil membuat banyak orang bertanya-tanya di dalam hatinya: "Mungkin, dia juga bisa menghentikan rudal."  Sebuah pujian yang kemudian terus mengiringi perjalanan kiper terbaik Bundesliga 1994 tersebut di sepanjang Piala Dunia 2002.
Tembakan keras yang terarah, tandukan yang peluang golnya mencapai 99%, dan situasi satu lawan satu gagal mengoyak ketangguhan Kahn di depan gawang Jerman.
Tembakan keras yang terarah, tandukan yang peluang golnya mencapai 99%, dan situasi satu lawan satu gagal mengoyak ketangguhan Kahn di depan gawang Jerman. Dia selalu melompat, mengorbankan anggota tubuhnya, dan berteriak untuk menghindarkan maut yang terus mengancam gawang Jerman. Dalam pertandingan menghadapi Irlandia, usaha mati-matian yang dilakukan Robbie Keane memang berhasil mengalahkannya pada menit-menit akhir pertandingan. Tetapi itu adalah satu-satunya gol yang bersarang ke Kahn sebelum dirinya bertemu dengan Ronaldo, penyerang terbaik sejagad pada waktu itu, pada pertandingan final. Dalam empat pertandingan menuju final, Kahn sukses membuat Samue Eto'o, Landon Donovan, dan Ahn Jung-hwan kehilangan akal untuk mengalahkannya.
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya Kahn berhasil dikalahkan Ronaldo pada pertandingan final. Tidak hanya sekali, tetapi dua kali. Dan salah satunya terjadi karena blunder yang dibuatnya. Saat itu, Kahn gagal menangkap bola yang seharusnya bisa dengan mudah diatasinya. Ronaldo yang tak terkawal kemudian dengan mudah memanfaatkan kesalahan Kahn tersebut.

Ini adalah salah satu mimpi terburuk Oliver Kahn di sepanjang kariernya
"Itu adalah satu-satunya kesalahanku di pertandingan final. Tetapi itu sepuluh kali lebih buruk daripada kesalahan lainnya yang pernah aku buat. Tidak ada cara bagiku untuk membuatku merasa lebih baik atau untuk melupakan kesalahan itu," penyesalan Kahn tentang kesalahnnya itu.
Itu adalah satu-satunya kesalahanku di pertandingan final. Tetapi itu sepuluh kali lebih buruk daripada kesalahan lainnya yang pernah aku buat
- Oliver Kahn
Saat Brasil mampu mengangkat gelar dunianya yang kelima pada akhir pertandingan, Kahn memang boleh mengutuk dirinya sendiri. Ia duduk bersandar gawang dengan tatapan nanar di tengah-tengah pesta kemenangan Brasil. Namun, publik sepakbola, termasuk publik sepakbola Jerman, ternyata mempunyai pendapat berbeda dengan mantan kiper Bayern Munich tersebut. Bagaimanapun Kahn tampil hebat sepanjang turnamen. Gawangnya hanya kebobolan tiga kali, dan dua di antaranya terjadi di pertandingan final di mana jari tangannya mengalami cedera. Berapa kali pemain-pemain Brasil harus melakukan tembakan ke gawang untuk mampu mengalahkannya? Ronaldo bahkan sempat beberapa kali memperlihatkan ekspresi kesal karena ketangguhan Kahn di mistar gawang pada saat itu.
Dengan pendekatan seperti itu, Kahn pun akhirnya dinobatkan sebagai pemain terbaik Piala Dunia 2002 tersebut, mengalahkan Ronaldo yang merupakan mimpi buruknya.
Sang pahlawan yang tak perlu turun ke lapangan
Dalam gelaran Piala Dunia 2006 di Jerman, revolusi sepakbola Jerman yang dimotori Juergen Klinsmann, pelatih Jerman pada saat itu, dimulai. Sejumlah pemain muda yang diharapkan mampu membangkitkan kekuatan Jerman pada masa yang akan datang mulai mendapatkan tempat. Pemain-pemain yang sudah menua meski masih memiliki nama besar secara perlahan mulai disingkan. Kahn, yang saat itu sudah berusia 37 tahun, juga menjadi korbannya. Kahn dipaksa menyerahkan singgasananya kepada Jens Lehmann selalu tampil bagus bersama Arsenal.
Semula, Kahn tidak terima dengan keputusan tersebut. Kiper Bayern Munich tersebut masih menganggap dirinya pantas untuk menjadi penjaga gawang utama timnas Jerman. Alhasil, terciptalah konflik internal di dalam timnas Jerman.  "Saat itu saya seperti mendapatkan tamparan di wajah saya," begitu kenang Kahn. "Saya bertanya kepada diri sendiri: Apakah Lehamnn dan Klinsmann menggunakan penasehat yang sama? Apakah Bierhoff (manajer Jerman) dan Lehmann sudah saling kenal sejak mereka masih kecil? Apakah ini sebuah kebetulan bahwa istri mereka berteman?"

Sikap legawanya ketika digeser oleh Jens Lehmann di timnas justru membuat banyak orang menghormatinya
Namun seiring berjalannya waktu Kahn akhirnya dapat menerima keputusan Klinsmann tersebut. Dirinya mulai sadar bahwa dia tetap bisa membantu timnya meski itu harus dilakukan dari bangku cadangan. Dan puncak dari kesadarannya tersebut terjadi saat dirinya menjabat tangan Lehmann menjelang babak adu penalti saat melawan Argentina pada pertandingan perempat-final. Itu adalah jabat tangan yang memiliki arti sebuah dukungan. Berbarengan dengan ego Kahn yang meluntur demi kepentingan negaranya, Olympiastadion, Berlin, bergemuruh hebat.
Kesadaran bahwa Anda tidak selalu harus berdiri di lapangan hanya untuk kemenangan itu sangat membebaskan. Seseorang bisa sukses dengan cara membantu tim, membantu pemain-pemain lain
- Oliver Kahn
"Saya banyak belajar pada tahun 2006 (Piala Dunia). Setelah kalah, saya bertanya kepada diri sendiri: Apakah saya bisa melakukan perbedaan? Bagaimana saya bisa terus tumbuh? Setelah Piala Dunia 2006, saya tahu bahwa Anda tidak selalu membutuhkan keberhasilan di atas lapangan. Kesadaran bahwa Anda tidak selalu harus berdiri di lapangan hanya untuk kemenangan itu sangat membebaskan. Seseorang bisa sukses dengan cara membantu tim, membantu pemain-pemain lain. Tiba-tiba saya memiliki empati untuk orang-orang yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan."
Kahn kemudian hanya bermain dalam satu pertandingan pada Piala Dunia 2006, yaitu saat Jerman mengalahkan Portugal 3-1 di perebutan tempat ketiga. Itu kemudian menjadi pertandingan terakhirnya dengan seragam timnas Jerman. Setelah pertandingan tersebut, Kahn memutuskan pensiun dari timnas yang sudah dibelanya dalam 86 pertandingan dan dikapteninya dalam 49 pertandingan. Dalam pertandingan tersebut dirinya beberapa kali membuat penyelamatan penting, dan membuat Critiano Ronaldo dan Nuno Gomez nyaris kehilangan akal untuk mengalahkannya.

Pesta di Jerman memang ditutup oleh kemenangan Italia. Tetapi, terutama bagi publik sepakbola Jerman, pesta itu sebetulnya sudah ditutup ketika Oliver Kahn, salah satu penjaga martabat bangsa terbaik yang pernah dimiliki Jerman, melakoni pertandingan terakhirnya sehari sebelum berlangsungnya pertandingan final.

Sumber : FOURFOURTWO.COM

PAOLO MALDINI

0 komentar

Di Serie A dan di Liga Champions, ia adalah 'dewanya'. Tujuh scudetto dan lima Liga Champions sukses ia raih di sepanjang kariernya. Tapi di timnas Italia, ceritanya berbeda. Dan itulah noda terbesar dalam kariernya...
Saat seorang pemain hebat yang hanya memperkuat satu klub sepanjang 25 tahun kariernya memilih untuk pensiun, sepakbola yang semakin materialistis pun pasti akan menaruh hormat yang tinggi kepadanya. Apalagi jika pemain yang dimaksud adalah Paolo Maldini.
Paolo Maldini adalah seniman lapangan hijau yang selama lebih dari dua dekade sudah melewati beberapa generasi saat memilih gantung sepatu pada 2009 silam. Dia sudah memberikan segalanya untuk membantu AC Milan meraih sebanyak mungkin gelar yang bisa mereka raih selama berseragam merah hitam. Lima trofi Liga Champions, tujuh gelar Serie A, lima Piala Super Eropa dan satu Coppa Italia adalah bukti kontribusinya di era kejayaan Milan. Maka tak mengherankan jika mantan manajer sekelas Sir Alex Ferguson pun menyebut pria kelahiran 26 Juni 1968 itu sebagai pemain favoritnya dari tim lawan yang pernah dihadapinya saat membesut Manchester United. Maldini dengan segala sejarah yang ditorehkannya layak meninggalkan lapangan hijau dengan kepala tegak meski kariernya tak sesempurna Xavi Hernandez atau Andres Iniesta.  
Debut Maldini bersama Rosonerri terjadi pada 20 Januari 1985 saat ia masuk menggantikan Sergio Battistini dalam sebuah laga kontra Udinese di usia yang baru menginjak 16 tahun. Meski itu menjadi satu-satunya kesempatan Maldini merumput bersama Milan di musim tersebut, bakatnya menjadi salah satu penoreh sejarah panjang kejayaan di San Siro di tahun-tahun berikutnya. Tiga tahun berselang, berada di bawah kepelatihan Arrigo Sacchi, Maldini sukses mempersembahkan trofi pertamanya untuk Milan, klub yang juga pernah dikapteni sang ayah, Cesare Maldini. Gelar Serie A di musim itu mengawali rentetan trofi yang datang ke Milan dengan Maldini sebagai salah satu penggawa penting mereka.

Maldini muda mendapatkan dukungan dari banyak pemain top di timnya
Kesuksesan Maldini sebagai pemain tentu bukan hasil upayanya semata. Kedatangan Silvio Berlusconi sebagai pemilik baru AC Milan pada 1986 serta keputusannya untuk merekrut Arrigo Sachhi dari Parma pada 1987 menjadikan Milan sebagai klub yang sangat disegani di dunia. Di era mantan penjual sepatu itu, yang mengakhiri kepemilikannya pada bulan ini, Milan juga bisa menikmati jasa trio Belanda legendaris (Marco van Basten, Frank Rijkaard, dan Ruud Gullit) dan dengan lini belakang yang dikawal oleh Alessandro Costacurta, Mauro Tassotti, Franco Baresi, dan Maldini sendiri. Singkat kata, Maldini mengawali kisahnya di Milan di saat yang tepat.

Maldini berkembang di saat yang tepat di Milan
Akhir 80an dan awal 90an adalah era di mana Milan seolah menjadi penguasa tunggal lapangan hijau. Mereka tiga kali meraih trofi Piala Champions (1989, 1990, dan 1994) dan Maldini memiliki kontribusi besar dalam kesuksesan tersebut sebagai pemain utama di usia yang muda. Hebatnya lagi, itu bukan trofi Eropa terakhir yang ia persembahkan. Dalam periode satu dekade berikutnya, ia kembali mengangkat trofi itu sebanyak dua kali (2003 dan 2007), dengan status sebagai kapten tim yang sudah disandangnya sejak 1996.
PIALA DUNIA, KUTUKAN ADU PENALTI DAN GOL EMAS
Gelimang trofi Maldini bersama Milan gagal diteruskannya bersama tim nasional Italia. Piala Eropa 1988 menjadi turnamen internasional pertamanya, di mana Italia hanya sukses menginjakkan kaki hingga semifinal. Dua tahun kemudian, Italia mencatatkan rekor sebagai tim yang tidak kebobolan dalam lima pertandingan beruntun di Piala Dunia 1990, sebelum Diego Maradona mencetak gol penyeimbang di babak semifinal untuk Argentina sekaligus mengandaskan langkah Negeri Pizza itu lewat babak adu penalti.
image: https://images.cdn.fourfourtwo.com/sites/fourfourtwo.com/files/styles/inline-image/public/paolo-maldini_zbnbiqlozziq17qrg4buuckei.jpg?itok=5OX-wjpe

Paolo Maldini bermain menonjol di Piala Dunia 1990
Adu penalti seolah menjadi kutukan bagi Maldini dan kiprahnya di Piala Dunia. Dalam dua gelaran berikutnya, Italia selalu tersingkir lewat sistem yang mengadu kerja keras dengan keberuntungan tersebut. Di edisi 1994, Italia dikalahkan oleh Brasil di babak final, sementara pada 1998 Azurri dikandaskan tuan rumah Prancis, yang akhirnya menjadi juara, di babak perempat final. Untuk gelaran 1994 di Amerika Serikat, Maldini sudah sempat menyandang ban kapten karena cedera yang dialami Franco Baresi.
Adu penalti seolah menjadi kutukan bagi Maldini dan kiprahnya di Piala Dunia. Dalam dua gelaran berikutnya, Italia selalu tersingkir lewat sistem yang mengadu kerja keras dengan keberuntungan tersebut
Sementara itu, ajang Piala Dunia terakhirnya pada 2002 juga berakhir dengan tak kalah menyakitkan. Azzurri disingkirkan tuan rumah Korea Selatan di babak 16 besar lewat aturan Golden Goal, di mana sebuah tim yang berhasil lebih dulu mencetak gol di babak tambahan bisa langsung keluar sebagai pemenang.
Kekecewaan yang dirasakannya dalam empat gelaran Piala Dunia rupanya cukup untuk membuat Paolo Maldini menjauh dari ingar bingar turnamen sepakbola terbesar itu saat negaranya memenangi edisi 2006 yang digelar di Jerman dan dia sudah tak lagi menjadi bagian dari skuat.
"Saya berada di Amerika Serikat saat Piala Dunia 2006 digelar, jauh sekali, jadi sampai mereka (Italia) masuk ke babak semifinal, saya nyaris tidak mengetahui apapun. Saya menyaksikan laga final dan berbahagia untuk mereka, tapi saya kecewa dengan diri saya sendiri. Tapi, saya juga sudah memiliki terlalu banyak hal jadi saya tak seharusnya mengeluh," aku Maldini saat diwawancara tahun 2009.
image: https://images.cdn.fourfourtwo.com/sites/fourfourtwo.com/files/styles/inline-image/public/paolo-maldini_y1llgg6upau713j7csumay8ba.jpg?itok=SNr0nmJp

Meski sempat masuk dalam tim terbaik Piala Dunia, ia tak pernah berhasil memenangi trofi tersebut bersama Italia
Saya berada di Amerika Serikat saat Piala Dunia 2006 digelar, jadi sampai mereka (Italia) masuk ke babak semifinal, saya nyaris tidak mengetahui apapun. Saya menyaksikan laga final dan berbahagia untuk mereka, tapi saya kecewa dengan diri saya sendiri
- Paolo Maldini
Maldini memang gagal membawa negaranya menjuarai satu pun turnamen internasional, namun kepiawaiannya di posisi bek kiri membuatnya terpilih dalam daftar Tim Terbaik Turnamen di Piala Dunia edisi 1990 dan 1994. Namun, di antara deretan penghargaan di level individu dan klub tersebut, Maldini bukannya tak memiliki jasa apapun untuk tim nasionalnya. Permainan elegannya di barisan pertahanan adalah warisan yang akan selalu menginspirasi banyak bek Italia saat ini. Kariernya yang panjang membuat filosofinya sebagai bek mampu menyeberangi beberapa generasi, sementara kemampuannya beradaptasi dengan perubahan menjadikannya sebagai sosok yang tepat untuk dijadikan teladan sepanjang zaman.


MALDINI DAN SENI BERTAHAN
Sepakbola modern semakin menyesakkan bagi para pelaku lapangan hijau. Seorang pemain kini kian dituntut untuk memiliki banyak aspek teknis dalam permainan mereka ketimbang bagaimana memainkan peran sesuai posisi mereka di atas lapangan. Paolo Maldini dalam hal ini, jelas memiliki kemampuan beragam dalam permainannya, dari aspek bertahan hingga menyerang. Tapi, jelas kekuatan yang paling sering dipamerkannya adalah bagaimana menghadang pergerakan lawan di area permainannya. Sementara kemampuan menyerangnya dari sisi kiri menginspirasi banyak pemain di generasi berikutnya, kemampuan bertahan Maldini di posisi bek kiri adalah sesuatu yang langka untuk ditemukan saat ini.
Maldini adalah simbol pertahanan indah dalam sepakbola. Ia bukan tipe bek yang kerap melakukan tekel untuk menghentikan lawan. Dia memiliki kemampuan untuk melakukannya, tapi waktu eksekusinya nyaris selalu sempurna, meninggalkan lawan dalam kondisi kebingungan ketimbang kesakitan. Pada dasarnya dia memiliki semua kemampuan dasar yang dibutuhkan bek: kuat, cepat, tenang, cerdas dan kemampuan membaca arah serangan lawan. Saat berada dalam situasi satu lawan satu, Maldini seolah berada satu langkah di depan lawannya. Ia akan dengan tenang mengikuti pergerakan lawan dan menebak ke mana mereka akan menendang sebelum bola berhasil kembali ia kuasai. Maldini adalah sosok yang mengantisipasi datangnya masalah, dan jika gagal mengantisipasinya, ia akan dengan anggun mengatasinya.

Kekuatan utama Maldini: membaca pergerakan lawan untuk kemudian menghentikannya
Pujian dan pengakuan untuk bakat Maldini tak akan terputus oleh zaman. Di era di mana kita bisa mengakses informasi dengan begitu mudah, rekaman pertandingan Milan di masa keemasan Maldini akan bisa ditemukan dalam hitungan menit bahkan detik di dunia maya. Tapi, pujian dari sesama pelaku sepakbola jelas memiliki makna lebih.

Tekel adalah usaha terakhir, bukan jalan pertama untuk menghentikan lawan
"Saya menyaksikan Milan di perempat final, leg kedua melawan Bayern Munich dan Maldini bermain 90 menit tanpa melakukan tekel. Itu adalah seni dan ia adalah penguasanya. Dia pemain hebat. Anda tidak dapat mengabaikan pengalaman yang ia miliki," ujar Sir Alex Ferguson saat timnya akan menghadapi AC Milan di semifinal Liga Champions 2007, yang kemudian dimenangi Milan untuk kemudian membalaskan dendam mereka pada Liverpool di final.
Saya menyaksikan Milan di perempat final, leg kedua melawan Bayern Munich dan Maldini bermain 90 menit tanpa melakukan tekel. Itu adalah seni dan ia adalah penguasanya
- Sir Alex Ferguson
Sementara itu Gianni Rivera, mantan playmaker tim nasional Italia, menyebut Maldini sebagai sosok yang mewakili era lawas dan modern karena begitu konsisten selama 25 tahun berkarier.
Atau coba baca pujian dari mantan striker tim nasional Inggris, Teddy Sheringham, yang diutarakannya kepada FourFourTwo.

"Saya beberapa kali berhadapan dengan Maldini. Dia bagus saat menyerang, tapi yang lebih penting dia adalah bek yang hebat. Saya tak pernah melihatnya dibuat pontang-panting oleh pemain sayap lawan."
PERSETERUAN DENGAN ULTRAS MILAN
Maldini bukan hanya seorang pemain sepakbola terhormat, dia adalah pria dengan nilai kemanusiaan luhur yang pemberani. Ia tak akan segan menyuarakan ketidaksetujuannya saat sesuatu yang tidak benar terjadi dan sekali pun itu harus membuatnya berhadapan dengan kelompok suporter Milan sendiri.
Daftar perseteruan Maldini dengan suporter Milan mungkin baru menarik perhatian di tahun 2005 saat dia dengan terbuka mengritik barisan ultras yang dengan sengaja menjual tiket final Liga Champions dengan harga lebih tinggi ke suporter Milan lainnya. Tapi, Maldini sejatinya sudah cukup lama bergesekan dengan mereka.
Misalnya, dalam sebuah laga antara Milan dan Parma pada musim 1997/98, Milanisti yang kecewa dengan performa tim kesayangannya berbuat ulah dengan melempar beberapa benda ke lapangan dan membuat laga ditunda lebih dari lima menit. Maldini tidak menahan diri melihat ulah suporter timnya dan memilih mengritik secara terbuka. Tapi, itu bukan aksi protes terbesarnya. Saat Milan memenangi Serie A semusim kemudian, Maldini menolak untuk berterima kasih kepada suporter setelah laga penentuan dan memilih langsung masuk ke ruang ganti untuk merayakan gelar dengan Costacurta!
Pertengahan 90an memang bukan era yang membahagiakan bagi Milan dan Maldini. Para pemain utama mereka sudah menua dan mengharuskan Milan melakukan regenerasi yang membuat prestasi tim menurun dan suporter merasa terluka. Maldini menjadi salah satu sosok yang kerap dikritik suporter di masa-masa sulit itu dan nyaris mempertimbangkan tawaran Gianluca Vialli untuk memperkuat Chelsea pada 1997.
Tentu saja ia tak pernah meninggalkan Milan yang diakui sebagai satu-satunya klub di dalam hatinya, tapi loyalitas dan kontribusi Maldini tak selalu dibalas dengan manis oleh ultras.

Legenda yang tak dihormati ultras sendiri
Perseteruan di Istanbul pada 2005 mungkin yang akhirnya paling memengaruhi sikap ultras kepada Maldini. Bahkan pada pertandingan terakhirnya di San Siro pada Mei 2009, beberapa dari mereka memasang beberapa spanduk dengan tulisan yang terlihat sangat tidak layak ditujukan untuk seorang pemain seperti Maldini.
"Terima kasih kapten. Di lapangan kau adalah juara, tapi kau tak memiliki rasa hormat kepada mereka yang sudah membuatmu kaya raya," bunyi salah satu spanduk di San Siro hari itu.
Spanduk lain yang tak kalah pedih untuk dipandang adalah spanduk raksasa dengan bentuk seragam tim Milan bernomor punggung enam bertuliskan, "Hanya ada satu kapten, (Franco) Baresi."

Terima kasih kapten. Di lapangan kau adalah juara, tapi kau tak memiliki rasa hormat kepada mereka yang sudah membuatmu kaya raya
- Salah satu spanduk ultras Milan di laga perpisahan Maldini
Maldini yang sudah lama mengetahui tabiat para ultras tidak terlalu menghiraukan sambutan yang menghina dirinya di hari terakhirnya di San Siro. Dia mengaku bersyukur tidak menjadi orang-orang seperti barisan suporter itu.
Hubungan buruk dengan kelompok ultras inilah yang ditengarai membuat Maldini nyaris tak punya peluang untuk masuk dalam jajaran dewan klub. Baik Silvio Berlusconi dan Andrea Galliani tak mampu berbuat apapun untuk memboyong Maldini kembali bekerja di Milan. Sementara melatih diakui oleh Maldini tak menjadi pilihan dalam hidupnya, dia kini lebih tertarik menjalankan bisnis jual pakaian dan restoran. Ia juga menjadi pemilik bersama klub sepakbola berbasis di Amerika Serikat, Miami FC.
"Saya tak akan melatih. Itu pekerjaan yang luar biasa, tapi banyak tekanan dan melibatkan beberapa hal yang sangat tidak saya sukai dalam sepakbola. Setelah pertandingan, saya melihat (Carlo) Ancelotti melakukan tujuh wawancara yang berbeda, menjawab pertanyaan yang sama tujuh kali," ungkap Maldini soal alasannya enggan terjun ke dunia pelatih.
Dengan segala kontribusi dan warisannya untuk sepakbola, Paolo Cesare Maldini tak berhutang apapun pada Milan dan sepakbola. Sebaliknya, pendidikan yang diajarkan dalam permainannya akan selalu menjadi acuan penting bagi mereka-mereka yang ingin sukses di dunia sepakbola.
Sumber : FOURFOURTWO.COM

Page

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads

Join our Team

Popular Posts