Video of the Day

POTRET SEPAKBOLA DAN MASAYARAKAT INDONESIA

Senin, 24 September 2018 0 komentar

Tentang Haringga dan Keganasan Suporter di Indonesia
Tewasnya Haringga Sarila di tangan bobotoh merupakan korban tewas ke-63 di sepakbola Indonesia. Insiden ini bukan hanya soal rivalitas bobotoh dan The Jak. Rivalitas suporter di Indonesia secara umum memang sudah kelewat batas. Setiap tahun, kita seolah hanya menantikan kabar duka atas tewasnya suporter di sebuah pertandingan sepakbola.
Di sini saya tidak ragu mengatakan bobotoh, bukan oknum, karena mereka benar-benar bobotoh. Tapi, tidak semua bobotoh sebarbar itu. Mereka yang membunuh itu datang ke stadion tampaknya dengan tujuan eksistensi semata, bukan untuk mendukung Persib. Mayoritas dari mereka tak memiliki tiket, remaja tanggung, lusuh, beberapa tidak memakai alas kaki, beberapa berbau alkohol. Menonton pertandingan hanyalah bonus bagi mereka.
Perilaku suporter seperti itu tidak hanya ada di Bandung. Di Jakarta ada "Rojali" alias Rombongan Jak Liar. Dari beberapa kesaksian, di Persebaya, Arema, Persik, dan Persita pun ada suporter seperti ini. Bukan tak mungkin suporter-suporter kesebelasan lain pun terdapat suporter liar yang datang ke stadion tanpa modal dan justru kerap membuat onar.
Kekerasan suporter memang lahir dari kultur masyarakat Indonesia sendiri. Dalam kasus lain, kita sering membaca atau mendengar berita seorang maling tewas dipukuli massa, mobil penyerempet pengendara motor yang dirusak massa, tawuran antar pemuda, bahkan wihara dirusak massa karena kesalahpahaman, bukan?
Dalam penyerangan tersebut, tak sedikit dari mereka yang sebenarnya tidak tahu pasti duduk perkaranya seperti apa, namun karena teriakan mayoritas lainnya yang mereka anggap benar, mereka bisa langsung bertindak sebuas-buasnya manusia. Mereka seolah punya pembenaran untuk menghakimi seseorang.
Dalam pengeroyokan korban-korban kekerasan suporter, ia dipukuli bahkan hingga tewas hanya karena ia seorang pendukung kesebelasan rival. Padahal, kita tidak tahu kehidupan sehari-hari korban tersebut. Sekarang bayangkan misalnya seseorang yang di kehidupan sehari-harinya tak punya satu pun musuh, namun harus meregang nyawa karena mendukung kesebelasan yang berbeda.

Situasi seperti ini bukan kesalahan satu pihak tertentu. Tragedi seperti ini adalah wajah buruk sepakbola Indonesia. Sisi gelap sebagian manusia Indonesia. Lebih jauh, kejahatan seperti ini adalah cerminan buruk masyarakat Indonesia yang memang tidak bisa mencerna sesuatu hal dengan akal sehat.
Rivalitas Harusnya Seperti Apa?
Tentu tidak ada aturan tertulis seorang suporter harus dan tidak harus melakukan sesuatu hal untuk mendukung kesebelasan pujaannya. Yang ada adalah batasan-batasan tertentu seorang suporter ketika mendukung. Kontak fisik tidak dibenarkan: aturan tersebut terikat lewat hukum pidana.
Rivalitas di luar negeri lebih aman dibanding di Indonesia. Korban meninggal di luar negeri bukannya tidak ada, toh pendukung Lazio pernah tewas terkena tembakan suar (flare) dari pendukung Roma pada 1979. Tapi untuk rivalitas di era modern seperti ini, tindakan-tindakan kriminal suporter bisa terminimalisasi karena tingkat keamanan lebih baik.
Yang paling penting, kultur masyarakat di luar jauh lebih menghargai sebuah nyawa. Karenanya tak heran laga-laga panas macam AS Roma vs Lazio, Real Madrid vs Barcelona, River Plate vs Boca Junior, Celtic vs Rangers, Manchester United vs Liverpool, dan masih banyak lagi laga panas lainnya, sangat jarang menelan korban jiwa saat, sebelum, dan setelah pertandingan berlangsung.
Para suporter luar negeri, yang paling barbar sekalipun, mereka lebih mengutamakan untuk meneror pemain lawan. Pemain lawan diteror agar tampil buruk sehingga tim yang didukung meraih kemenangan. Mereka tahu, tidak ada untung dan gunanya meneror apalagi bertikai dengan suporter lawan bagi kesebelasan yang didukung.
Para suporter luar negeri pun tidak mudah terprovokasi. Karenanya meski bertemu dengan suporter rival, sangat jarang mereka bertikai. Saling mengolok dan menyerang lewat verbal, iya. Tapi hanya sebatas itu. Pada dasarnya rivalitas suporter luar memang bukan karena hal sepele, sehingga tidak pernah terprovokasi untuk menyerang secara agresif karena hal kecil.
Berbanding terbalik dengan di Indonesia. Jika El Clasico adalah duel nasionalisme antara Spanyol vs Katalunya, atau Old Firm Derby sebagai permusuhan antara Kristen dan Protestan, atau Superclasico yang lahir karena "pertarungan" antara kelas bawah vs kelas atas, di Indonesia, rivalitas suporter terjadi karena hal sepele.
Rivalitas The Jak vs Bobotoh misalnya, seperti yang diceritakan pengamat sepakbola Bandung, Eko Noer, pada Pikiran Rakyat, rivalitas ini dimulai karena kesalahpahaman yang terjadi pada akhir 90-an. Ketika itu, bobotoh dan The Jak sama-sama kecewa karena tidak bisa menyaksikan laga Persib vs Persija di Stadion Siliwangi, Bandung. Keduanya bentrok karena bobotoh kecewa ada The Jak yang bisa masuk stadion, sementara The Jak kecewa sudah datang jauh-jauh tapi tidak bisa masuk stadion. Insiden ini berlanjut dan semakin membesar karena adanya saling balas pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, apalagi setelah memakan korban jiwa.
Randy Aprialdi yang mengamati kultur suporter luar negeri menyebut bahwa rivalitas di Indonesia terlampau barbar. Tidak ada pengeroyokan seorang suporter luar negeri yang tewas oleh suporter lawannya. Hanya sebatas sampai terjatuh dan tak berdaya. Di Indonesia, suporter yang kehilangan nyawa biasanya dipukuli oleh banyak orang (bukan 1 lawan 1) bahkan tidak dengan tangan kosong—tindakan pecundang.
Di sinilah letak perbedaan rivalitas suporter di Indonesia dan di luar negeri. Di Indonesia oleh hal-hal sepele seperti saling ejek, salah paham, atau sekadar tidak menerima kekalahan. Di luar negeri, rivalitas lahir karena perbedaan ideologi, dampak budaya, lingkungan sosial, hingga dampak peperangan di masa lalu.

Sudah Seperti Ini, Sekarang Bagaimana?
Federasi sepakbola dan pemerintah sudah terbukti tidak bisa mengatasi masalah kekerasan suporter ini. Saat ada korban suporter melayang, kita akan kembali mengingat masalah di masa lalu yang belum terusut tuntas. Contohnya, ketika Haringga sudah tak bernyawa saat ini, kasus Banu Rusman (suporter Persita) yang menjadi korban meninggal bentrokan dengan "suporter" PSMS pada 2017 lalu masih mengambang tak jelas.
Pelaku yang menghilangkan nyawa diadili saja tidak cukup. Hukuman PSSI terhadap suporter tidak pernah memberikan efek jera. Pemerintah kerap malu-malu (atau takut pembekuan lagi?) untuk mengambil alih masalah kriminal ini. Perilaku suporter barbar, akhirnya, tidak bisa terbenahi.
Suporter tidak bisa melulu menjadi objek. Toh, tidak semua suporter barbar. Masih banyak juga suporter yang cinta damai. Bahkan tak sedikit juga aroma perdamaian yang mulai digaungkan atas insiden ini. Banyak bobotoh yang juga merasakan duka mendalam sehingga tak bisa merayakan kemenangan atas Persija dengan suka cita yang luar biasa.
Rivalitas suporter memang tidak bisa dihilangkan atau didamaikan begitu saja. Yang paling penting, para suporter kesebelasan Indonesia perlu mengingat bahwa stadion rusak bisa diperbaiki, tapi nyawa yang hilang tak bisa kembali. Sudikah kalian terus melihat nyawa melayang karena rivalitas semata?
Jika pun nantinya bobotoh bahkan Persib mendapatkan hukuman yang ekstrem karena insiden ini, hal itu baiknya diterima dengan legawa. Tidak perlu mengungkit ketidakbecusan PSSI di masa lalu yang tidak memberikan hukuman berat di masa lalu. Tidak perlu "Kok, dulu si anu gak dihukum seberat ini?" karena jika seperti itu terus, kita tak akan pernah bisa menghentikan hal seperti ini. Yang akan ada hanya aksi balas.
Sekarang, keadilan di antara suporter dan kesebelasan perlu dikesampingkan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia-lah yang patut diutamakan.
SUMBER : PANDITFOOTBALL.COM
"LEBIH BAIK BUBARKAN SAJA JIKA TIDAK ADA PERUBAHAN"

UEFA NATIONS LEAGUE

Sabtu, 01 September 2018 0 komentar


Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Liga Negara UEFA

Tatanan kompetisi antarnegara Eropa bakal sedikit dimodifikasi dengan digelarnya UEFA Nations League.

Tidak lama lagi, lanskap sepakbola internasional di Benua Biru bakal memiliki wajah baru.
UEFA selaku otoritas tertinggi sepakbola Eropa telah meluncurkan kompetisi baru antarnegara Eropa yang memiliki nama resmi UEFA Nations League. Bisa disebut Liga Negara UEFA atau cukup Liga Negara agar lebih ringkas.
Tujuan dari digelarnya kompetisi baru ini adalah sebagai pengganti uji coba internasional, sehingga setiap negara bisa melakoni laga-laga kompetitif sebagai persiapan ideal jelang Piala Eropa atau Piala Dunia.
Untuk edisi perdana, yakni Liga Negara 2018/19, bakal digelar pada September 2018 hingga Juni 2019. Garis besarnya, terdapat empat divisi dalam liga ini dan turut diterapkan sistem promosi-degradasi. Selain itu, Liga Negara juga sedikit bersinggungan dengan kualifikasi Euro.
Terdengar membingungkan? Goal Indonesia mencoba menjelaskan segala hal berkaitan kompetisi antarnegara Eropa berformat baru ini. Simak!

Description: UEFA Nations League


APAKAH ITU LIGA NEGARA UEFA?

Sebagaimana nama yang melekat, Liga Negara UEFA adalah sebuah kompetisi liga untuk 55 negara anggota UEFA. Liga ini akan terdiri dari empat divisi yang ditentukan berdasarkan peringkat koefisien UEFA. Pada Rabu (11/10), UEFA telah mengumumkan para peserta dari keempat divisi ini.
Raksasa Eropa seperti Jerman, Spanyol, Prancis, Italia, Portugal, Belgia dan Inggris berada di Liga A yang total terdiri dari 12 negara dengan peringkat koefisien UEFA tertinggi. Islandia dan Belanda masuk dalam divisi ini.
Di bawahnya terdapat Liga B yang juga terdiri dari 12 negara dan berisikan tim-tim kelas dua Eropa semacam Wales, Rusia, Swedia, dan Republik Irlandia. Sementara Liga C berisikan 15 negara seperti Skotlandia, Yunani, Serbia, dan Hongaria.
Terakhir terdapat divisi terbawah, Liga D, yang berkomposisi 16 negara. Tim-tim semenjana semacam Kepulauan Faroe, Andorra, San Marino, hingga dua anggota terbaru UEFA, Gibraltar dan Kosovo tergabung dalam Liga D.
Description: https://images.performgroup.com/di/library/GOAL/f0/84/embed-only-nations-league-2018_u32igh1ool421bqtxj7p4u91d.jpg?t=181823455
Dari Liga A sampai Liga D tersebut, tiap liga kemudian dibagi ke dalam grup-grup. Di Liga A dan Liga B terdapat empat grup yang berisikan tiga tim di tiap grup. Liga C juga terdiri dari empat grup, namun berisikan tiga sampai empat tim di tiap grup. Adapun Liga D memiliki empat grup dengan empat tim di tiap grup.
Fase grup ini akan dimainkan dengan format kandang-tandang di jeda internasional pada September, Oktober, dan November 2018. Setelah fase grup berlalu, khusus di Liga A akan digelar fase gugur “Final Four” yang diambil dari empat juara grup.
Artinya, bakal ada partai semi-final, final, dan perebutan tempat ketiga pada Juni 2019 yang dimainkan dalam format satu leg di tempat netral. Kampiun Liga Negara 2018/19 tentu saja adalah pemenang di partai puncak.
Untuk negara-negara lain yang tidak terlibat dalam “Final Four” di atas, nasib mereka ditentukan oleh sistem promosi dan degradasi. Tim-tim yang berada di urutan buncit dalam grup di Liga A, B, dan C bakal turun kasta ke liga di bawahnya. Adapun juara grup di Liga B, Liga C, dan Liga D bakal promosi ke liga di atasnya.
Description: http://images.performgroup.com/di/library/GOAL/d7/36/uefa-nations-league_dpn76pdtlyl719habjwfs43hb.jpg


BAGAIMANA KAITANNYA DENGAN KUALIFIKASI EURO 2020?

Liga Negara UEFA kemudian memasuki kerumitan tertentu karena bersinggungan dengan kualifikasi Piala Eropa.
Pada dasarnya, kualifikasi Euro 2020 tetap dimainkan pada Maret 2019 hingga Maret 2020 untuk menyeleksi tim yang layak tampil di putaran final. Hanya saja, tim-tim yang tidak lolos ke putaran final lewat jalur kualifikasi bisa mendapatkan “kesempatan kedua” untuk mentas di Euro 2020 jika bermain baik Liga Negara 2018/19.
Kualifikasi Euro bakal mengirimkan 20 tim -- dua tim dari sepuluh grup -- ke putaran final sehingga masih tersisa empat slot yang biasanya akan ditentukan lewat play-off. Nah, para peserta play-off ini adalah mereka yang lolos lewat jalur Liga Negara.
Description: https://images.performgroup.com/di/library/GOAL/f7/f6/uefa-nations-league_1wsh5qnm1qrsu19wt28r9su4sh.jpg
Pemenang di tiap grup di Liga A, B, C, D bakal saling beradu dengan sistem mirip “Final Four” seperti di Liga A yang telah dijabarkan di awal. Untuk lebih memudahkan, fase ini bisa disebut sebagai Play-off Final Four. Pemenang Play-off Final Four dari Liga A, B, C, D inilah yang secara otomatis berhak memegang tiket ke Euro 2020.
Yang menjadi rumit adalah jika pemenang dari tiap grup di Liga A, B, C, D tersebut juga sudah lolos ke Euro 2020 lewat jalur kualifikasi secara normal. Tempat mereka di babak Play-off Final Four kemudian akan diganti oleh tim terbaik berikutnya dari keseluruhan Liga Negara yang belum lolos ke Euro 2020.
Jika dalam Play-off Final Four di tiap liga tidak komplet empat tim, maka sisa tim bisa diambil dari liga di bawahnya. Misalnya, Play-off Final Four di Liga A hanya terdiri dari tiga tim, maka tim keempat diambil dari tim peringkat kelima terbaik yang belum lolos dari Liga B. Begitu seterusnya sampai Play-off Final Four di tiap divisi liga terdiri dari empat tim yang belum lolos ke Euro 2020 dari jalur kualifikasi.
Putaran final Euro 2020 sendiri juga akan berformat baru karena akan dimainkan dimainkan di 13 kota dari 13 negara yang berbeda di seluruh penjuru Eropa.

Dan berikut hasil Drawing Nations League 2018

Hasil Undian Nations League UEFA


Liga A

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Belanda
Islandia
Polandia
Kroasia
Prancis
Swiss
Italia
Inggris
Jerman
Belgia
Portugal
Spanyol

Liga B

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Republik Ceko
Estonia
Irlandia Utara
Denmark
Ukraina
Swedia
Bosnia & Herzegovina
Republik Irlandia
Slowakia
Rusia
Austria
Wales

Liga C

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Israel
Estonia
Siprus
Lithuania
Albania
Finlandia
Bulgaria
Montenegro
Skotlandia
Yunani
Norwegia
Serbia
-
Hungaria
Slovenia
Rumania

Liga D

Grup 1
Grup 2
Grup 3
Grup 4
Andorra
San Marino
Kosovo
Gibraltar
Kazakhstan
Moldova
Malta
Liechtenstein
Latvia
Luxembourg
Kepulauan Faroe
Armenia
Georgia
Belarus
Azerbaijan
Makedonia

SUMBER : GOAL.COM

PAOLO MALDINI SEBAGAI LEGENDA YANG MENJADI TABU

Selasa, 24 Juli 2018 0 komentar

Paolo Maldini sebagai Legenda yang Menjadi Tabu
Ada banyak hal yang bisa diingat dari Paolo Maldini, salah satunya adalah kelegendaannya yang berbalur tabu.
Beberapa hari setelah memutuskan untuk gantung sepatu, Maldini menerima surat dari Carles Puyol. Intinya surat puja-puji. Dia bilang, ia tumbuh dengan menyaksikan Maldini bersepakbola. Ia mengagumi bagaimana Maldini tetap bermain dalam kedisplinan taktikal. Namun di atas segalanya, cara Maldini menghidupi sepakbola adalah hal yang paling dikaguminya. Baginya, Maldini adalah contoh nyata kalau seorang bek tidak perlu berulah beringas untuk menjadi hebat. Ia hanya perlu mencegah lawan untuk mencetak gol dengan cara yang bermartabat.
Carles Puyol adalah adagium bahwa kedewasaan tidak selalu diikuti oleh kehilangan idola. Barangkali, ia tumbuh dengan mengangan-angankan menjadi Maldini. Puyol boleh mengidolakan Maldini sedemikian rupa. Ia boleh berusaha sehebat-hebatnya untuk menjadi Maldini di Barcelona. Namun saya jadi berpikir, jangan-jangan Maldini juga bermimpi menjadi seperti Puyol.
Puyol tak pernah dituding sebagai pesepakbola yang kurang ajar, yang lupa kepada orang-orang yang membikinnya kaya raya. Laga perpisahan Puyol berlangsung khidmat. Tak ada kostum raksasa pemain lain yang dikibarkan di sepanjang pertandingan perpisahannya. Puyol tak harus bersaing dengan “Baresi-Baresi”-nya Barcelona.
Bagi Milan, Maldini adalah legenda yang menjadi tabu. Curva Sud Milano tak menyukainya. Maldini dicap arogan dan durhaka oleh mereka yang merasa membikin klub ini kaya raya.
Puncaknya memang terjadi pada tanggal 24 Mei 2009. Pertandingan melawan Roma ini tak cuma menjadi laga ke 900 untuk Maldini, ini kali terakhir Maldini bertanding untuk Milan di San Siro. Laga perpisahan ini seharusnya menjadi manis, apalagi Maldini bukan cuma empat-lima tahun bermain di Milan. Ia berada di sana selama 24 tahun. Hampir seperempat abad, tanpa sekalipun berpindah ke kesebelasan lain – belum lagi ditambah 7 tahun bersama tim junior. Seharusnya bukan hanya Andrea Pirlo yang menangis haru, bukan hanya pemain Roma yang mengenakan kaos bertuliskan “Terima Kasih, Paolo”. Seharusnya, yang berkibar megah dari tribun selatan bukanlah kostum raksasa Franco Baresi, seharusnya hari itu menjadi harinya Paolo Maldini.
Tapi apa boleh buat, Maldini memang tidak lebih besar daripada Baresi. Bagi kumpulan ultras itu, Milan hanya punya satu kapten. Dan ia bernama Franco Baresi.
Konon, aksi penolakan Curva Sud ini berawal dari cerita Istanbul tahun 2005 yang termahsyur itu. Kabarnya sebelum pertandingan, Curva Sud menjual sisa jatah tiket mereka kepada pendukung Liverpool dengan harga yang jauh lebih mahal. Maldini berang, seharusnya sisa tiket itu dijual kepada Milanisti dengan harga yang sebenarnya. Baginya, Curva Sud hanyalah sekelompok mata duitan yang mengenakan selubung ultras. Atas alasan itu pula, ia menolak untuk meminta maaf kepada mereka saat dihampiri oleh beberapa orang anggota Curva Sud di bandara Malpensa seusai pertandingan yang membikin Milan harus merelakan gelar Liga Champion ke tangan Liverpool.
Perseteruan mereka berlanjut sampai tahun 2007. Maldini yang waktu itu kembali memimpin Milan ke putaran final Liga Champion 2007 memilih untuk tidak ikut campur saat kelompok ultras ini bermasalah dengan polisi di Athena. Curva Sud yang merasa sebagai pihak yang seharusnya dibela mati-matian oleh klub termasuk para pemain merasa kecewa, akibatnya mereka memboikot pertandingan Milan kontra Sevilla pada perhelatan Piala Super Eropa dan tidak menghadiri sejumlah pertandingan sepanjang musim 2007-2008.
Jauh sebelum dua insiden ini terjadi, Maldini dan Curva Sud memang sudah tak akur.  Sekitar musim 1997-1998, saat Maldini baru 6 bulan menjabat sebagai kapten, Curva Sud membentangkan spanduk yang bertuliskan “Kurangi Hollywood dan Perbanyak Kerja Keras” di depan rumahnya. Untuk diketahui, Hollywood adalah nama tempat hiburan malam di Milan. Maldini dan teman-temannya memang sering bersenang-bersenang di sana. Saya jadi berandai-andai - jangan-jangan, kiprahnya sebagai DJ amatir juga bermula dari kesenangannya di klub malam, persis seperti pertemuan pertamanya dengan Adriana Fossa, model asal Venezuela yang kelak menjadi istrinya.
Maldini boleh merengkuh nama besar, ia boleh memimpin ratusan laga Milan, ia sah-sah saja menjadi orang pertama yang mengangkat trofi saat kesebelasannya memenangkan kompetisi apapun. Namun di mata orang-orang yang memiliki posisi tawar kuat di klub itu, Maldini hanyalah bahan cemooh. Sehebat apapun Maldini bersepakbola, tidak peduli sebanyak apapun laga yang dilakoni untuk Milan – untuk diketahui total penampilan Maldini di Milan sebanyak 902 kali, sedangkan Baresi 719 kali- Maldini tidak akan pernah menang dari Baresi.
Di depan semua kalangan manajemen klub, barisan ultras tersebut adalah orang kuat. Mereka punya posisi tawar yang tak main-main, lewat penjualan tiket dan merchandise, mereka membikin penuh pundi-pundi Milan. Galliani boleh mengirimkan surat kepada Maldini perihal penyesalannya atas perlakuan ultras. Namun, bukankah basa-basi adalah bagian dari pekerjaan manajemen?
Sedalam apapun penyesalan manajemen, semenyentuh apapun surat yang diberikan, Maldini tidak pernah menjadi bagian dari klub. Lihatlah siapa-siapa yang menduduki kursi manajemen, nama Paolo Maldini tak ada di sana. Perihal yang wajar, karena memasukkan  ia yang ditolak oleh orang-orang kuat klub ke jajaran manajemen sama saja dengan petaka.
Atas apa yang menimpa Maldini, saya teringat akan salah satu cerpen karya Jorge Luis Borges yang berjudul “The Circular Ruins”. Ia berkisah tentang seorang penyihir yang dalam mimpinya berupaya untuk menghidupkan sosok manusia ideal yang begitu ia impi-impikan. Setelah mewujudkan manusia ideal itu, ia mengirimnya ke semacam reruntuhan berlingkar – yang agaknya menyerupai runtuhan kuil – di belahan selatan. Namun bertepatan dengan bunyi kentongan tengah malam ia terjaga dari tidurnya dan sadar kalau sesungguhnya keberadaannya juga diimpikan orang lain.
Saya tidak tahu ada berapa banyak pesepakbola yang mengidolakan Maldini. Saya juga tidak paham ada berapa banyak anak yang bertekad menjadi pesepakbola setelah menyaksikan Maldini mencegah lawan-lawannya mencetak gol. Agaknya, ranah ini memiliki banyak Puyol – mereka-mereka yang berusaha menghidupkan Maldini impian mereka lewat cara mereka bersepakbola. Namun sama seperti penyihir dalam cerita Borges yang terjaga akibat bunyi kentongan, tabu yang membaluri kelegendaan Maldini barangkali juga bisa menyadarkan mereka dan membikin berani berandai-andai; jangan-jangan Maldini juga berulang kali bermimpi untuk bisa seperti mereka. Bermimpi untuk bisa menjadi legenda tanpa harus menjadi tabu.

SUMBER : PANDITFOOTBALL.COM

MENDUKUNG ARSENAL ITU MELELAHKAN

Sabtu, 17 Februari 2018 0 komentar

Mendukung Arsenal Itu Melelahkan

Mendukung Arsenal itu melelahkan? Apakah solusinya adalah jangan terlalu berharap dengan mereka? Kata orang, mengalahkan Arsenal itu juga gampang. Kuncinya adalah jangan terlalu respek kepada mereka! Sesuatu yang tak beres selama 10 tahun terakhir terus menghantui penggemarnya. Semakin terlihat, semakin terang.

Sebelum kalah dari Chelsea pada Sabtu lalu, para ahli telah meramalkannya. Bak psikolog, mereka menyoroti personalitas Arsene Wenger. Segala yang ada di pikiran melalui segenap perhatian, energi, dan konsentrasi, baik dengan getaran positif maupun negatif cepat lambat akan datang.
Di dalam konsep Law of Attraction itu, nasib mujur Diego Costa dan nasib sial Gabriel Paulista hanya satu mata rantai dari berbagai rangkaian menuju hasil akhir. Semua kejadian yang menjamin kemenangan Chelsea sebenarnya ‘sudah’ ditentukan oleh harga mati konsep Wenger yang selalu ingin fashionable.
Sejak Wenger mendapat ‘wangsit’ pada 2005, semua orang tahu problem akbar Arsenal cuma dua: mental blok dan nasib sial. Dalam konsep Law of Attraction, nestapa apa pun mereka hingga kini tak akan pernah melampaui tragedi 2006 dan 2011 melawan Barcelona dan Birmingham City.
Mental blok adalah problem internal. Sementara itu, apes atau sial menjadi problem eksternal. Untuk sukses di sepak bola, kualitas saja tidak cukup. Karakter diri dan sikap mental justru paling menentukan. Dalam taraf dasar, maknailah pola pikir Claudio Ranieri alias cara bermain Leicester City.
Apa yang diharapkan pada Olivier Giroud atau Theo Wal cott justru ada di diri Jamie Vardy dan Riyad Mahrez. Kata-kata bijak yang selalu berlaku adalah keberuntungan cenderung berada di pihak yang berani. Kalau Walcott gagal memanfaatkan peluang itu bukannya sial, tapi ini sikap mental atau kurang latihan!
Lihatlah deretan sial Arsenal di awal musim 2015/16. Gol Aaron Ramsey dianulir saat melawan Liverpool. Kartu merah Giroud yang tak sengaja bikin pemain Zagreb tersandung. Kartu merah Gabriel. Costa lolos dari kartu merah setelah mencakar, menampar, menanduk Koscielny serta memprovokasi Gabriel.
Demi Intuisi
Untuk menang, Anda tak boleh mencari keadilan di sepak bola. Sikap mental dan karakter Koscielny di big-game patut dicerca. Ia tak bereaksi respek layaknya Tony Adams atau Martin Keown. Ia juga melupakan fungsi bek tengah, menteri pertahanan dalam sepak bola.
Boleh jadi nasib Arsenal saat itu sudah ditentukan oleh apatisme Koscielny walau ditabok dan ditanduk Costa. Mulai besok seharusnya Gabriel jadi kapten baru Arsenal, karena sikap mental dan karakternya lebih baik dari seluruh pemain Arsenal.
Lepas dari cara menanggung ketidakadilannya yang salah. Dalam hidup unsur karakter selalu memengaruhi nasib baik. Alex Ferguson dan Jose Mourinho selalu mengambil risiko yang dimaknai sebagai keberanian. Jika Wenger melakukan itu, orang membacanya sebagai kenekatan.
Nekat dan berani dipisahkan perhitungan matang berdasarkan sikap mental dan karakter. Layaknya kehidupan, sepak bola berisikan hal-hal positif dan negatif. Aksi Costa mencoreng lawan dalam falsafah Italia disebut furbizia.
Sepak bola itu cuma permainan belaka, Tuhan tak menghitung kecurangan saat bermain sebagai dosa. Malah mereka percaya sepak bola seperti peperangan di mana membunuh orang tak akan dihitung sebagai dosa.
Hasilnya, sukses para manajer otoriter model Hitler biasanya lebih nendang dari yang bertipe Gandhi, Vittorio Pozzo, Herbert Chapman, Rinus Michels, Bill Shankly, Ferguson, sampai Josep Guardiola dan Mourinho.
Terlalu lama jadi Gandhi membuat gaya permainan Wenger diremehkan rival. Obsesi jadi pemenang tak pernah sebesar obsesinya pada permainannya. Fokus bukan pada tujuan, tetapi proses. Inilah jawaban kenapa dia ditinggal Ashley Cole, Robin van Persie, Cesc Fabregas, atau Samir Nasri.
Ketimbang cinta, kadang-kadang intuisi lebih bisa memberi bukti pada hasrat tertinggi: menjuarai Premier League. Tujuan yang terarah bisa memotong waktu, sedangkan proses tanpa inovasi sikap mental bakal menghabiskan waktu. Inilah drama di Arsenal, sejak 2005 sampai 2015.
Jangan lagi sebagai fansnya, orang yang empati dengan Arsenal pun akan bilang mendukung Arsenal itu ternyata melelahkan.

SUMBER : BOLASPORT.COM

"YANG "WAJIB" DI"SUNNAH"KAN YANG "SUNNAH" DI"WAJIB"KAN"

0 komentar

Turnamen Pramusim yang Melelahkan untuk Dipahami

Emirates Cup, International Champions Cup, dan Audi Cup. Turnamen ini adalah laga pramusim bagi klub-klub di luar negeri yang aksi mereka kerap kita nikmati lewat layar kaca.
Ada sebuah kesamaan yang bisa kita lihat dari ajang pramusimdi luar negeri. Atas nama pemasaran, setiap tim memang diharapkan membawa skuat terbaik termasuk bintang mereka.
Namun, tidak ada kewajiban membawa pemain yang baru membela tim nasional di sebuah turnamen internasional seperti Piala Dunia atau Piala Eropa dan Copa America.
Mengikuti turnamen pramusim bukanlah target utama dalam membangun tim.  
Ajang ini merupakan sarana bagi pelatih untuk melihat dan menguji tim yang dibentuk untuk berkompetisi di musim yang baru. Termasuk memberi jam terbang bagi pemain lapis kedua.
Tujuan lain? Dari ajang International Champions Cup 2017, kubu Manchester United menerima upah tampil sebesar 20 juta pound alias nyaris mencapai 377 miliar rupiah. Bisnis!
Juventus dan PSG menerima 12 juta pound atas tiga penampilan mereka di Amerika serikat dalam ICC 2017.
Tentu angka-angka di turnamen pemanasan tersebut tak bisa dibandingkan dengan “upah” menjuarai Piala Presiden 2018.
Juara Piala Presiden 2018, yang kini berstatus laga pramusim, "hanya" menerima uang sebesar 3,3 miliar rupiah.
Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 300 juta rupiah yang diberikan kepada Arema FC selaku juara Piala Presiden 2017.
Mengikuti Piala Presiden di babak penyisihan membuat klub peserta tak perlu mengeluarkan uang karena menerima “ongkos jalan” sebesar 100 juta menuju kota tuan rumah.
Kubu tuan rumah pun tak ketinggalan mengisi kas keuangan karena mendapatkan “uang lelah” yang menggiurkan, 800 juta rupiah.
Bisa jadi sikap ngotot tim-tim peserta Piala Presiden untuk menang dapat diterima karena dari situlah mereka mengisi kas klub yang tak rutin terisi. Plus, gengsi meraih gelar juara. Maklum, ada embel-embel Presiden di nama turnamen.
Satu kemenangan di Piala Presiden 2018 diganjar hadiah 125 juta rupiah. Hasil imbang berdampak pada pemasukan 100 juta dan kalah 75 juta rupiah.
Namun, kenapa klub yang di awal keikutsertaan laga pramusimini menurunkan tim pelapis lalu berbelok arah lebih serius ingin menang ketimbang all out di turnamen resmi berskala Asia?
Adalah wajar kehadiran turnamen seperti Piala Presidendisambut hangat bak mengobati kerinduan menyaksikan liga resmi ketika federasi sepak bola di negara ini tak bisa memutar roda kompetisi.
Akan tetapi, posisi dan gengsi turnamen yang kemudian ditempatkan pada laga pramusim seolah menyaingi liga resmi yang akan digelar dalam waktu dekat. OMG!
Oh ya, bahkan kabarnya jadwal roda kompetisi resmi bergeser demi memberikan jalan bagi turnamen pramusim yang lain. Bisnis?
Dalam sebuah perbincangan dengan pelatih sepak bola di Tanah Air, problem yang sangat mengganggu klub disebutnya ketidakkonsistenan pengelola liga. Sepakat!
Sulit bagi pelatih mengatur waktu program bagi timnya ketika jadwal berubah-ubah tanpa alasan yang jelas. Juga plintat-plintut aturan, seperti status keberadaan pemain berusia 23 tahun dalam tim.
Mungkinkah jadwal resmi kompetisi diluncurkan kurang dari 30 hari sebelum liga dimulai?
Bila Anda tinggal di Indonesia, anggukan kepala adalah jawabannya.
Mungkinkah jadwal kompetisi diubah tanpa penjelasan yang kuat bagi pelatih untuk membongkar program kepelatihan yang telah mereka susun? Angguk lagi deh.
Mungkinkan jadwal pramusim begitu dekat dengan kick-offpertama kompetisi resmi? Anda tahu jawabannya.
Seorang pelatih perlu tahu ke stadion mana ia akan membawa tim asuhannya di laga-laga perdana. Persiapan bukan melulu soal akomodasi dan transportasi, juga faktor fisik pemain bila menempuh perjalanan jauh.
Kembali ke turnamen pramusim di tanah Air, ada pelatih yang mengaku tak berminat menginstruksikan timnya tampil all outmemburu gelar juara.
“Bagi saya, yang namanya turnamen pramusim itu bertujuan mencari kerangka tim, melihat kelemahan tim, dan semakin membuat solit tim yang sudah ada. Kecuali, tim yang ia asuh tak banyak berubah dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Akhirnya, mari mengingat salah satu target yang diberikan kepada pelatih timnas kita, Luis Milla. Gelar juara Piala AF 2018 sungguh sangat dirindukan.
Lalu, sudahkah kita memberikan jalan bagi tim pelatih timnas untuk menyiapkan pasukan Garuda Merah-Putih berdasarkan kompetisi yang rapi dan berkualitas?
Jangan sampai kaki-kaki para pemain yang terpilih masuk timnas untuk Asian Games 2018 dan Piala AFF 2018 sudah keburu letih di laga pramusim dan terkulai di paruh pertama kompetisi. Alamak!

SUMBER : BOLASPORT.COM

CATATAN PRIBADI : Pramusim dibikin "wajib" dan Kompetisi resmi Liga "disunahkan" Mungkin jika dalam bahasa agama mah "YANG "WAJIB" DI"SUNNAH"KAN YANG "SUNNAH" DI"WAJIB"KAN"

Diberdayakan oleh Blogger.

Ads

Join our Team

Popular Posts